Source |
Sepagi ini
hujan kembali mengguyur kota, jalanan yang begitu ramai dengan klakson
kendaraan pun seolah beradu padu dengan air hujan yang mengguyur deras jalanan.
Sepertinya hujan memang tak pernah begitu berpengaruh bagi mereka para pencari
rejeki yang tetap memaksa menerobos hujan ini demi sesuap nasi. Ah, begitupun
aku, sambil sesekali melihat keluar jendela memerhatikan orang-orang di luar
sana, aku kembali fokus membersihkan kaca jendela, pekerjaanku setiap pagi. Oh,
bukan, aku bukan menjadi seorang pembersih jendela gedung seperti yang mungkin
kalian kira.
Sudah satu tahun terakhir ini aku memutuskan meninggalkan
kampung halaman dan pergi ke kota dengan harapan mendapat pekerjaan layak yang
setidaknya bisa membantu keuangan keluarga di kampung yang rata-rata hanya
bekerja serabutan. Ya, alasan klasik memang. Namun, ternyata semua tak semudah
yang dibayangkan, aku yang hanya seorang lulusan SMA terang saja sulit bersaing
di kota besar seperti ini, berbulan-bulan aku mencari pekerjaan tapi semua tak
ada yang mau menerimaku, sampai pada akhirnya, aku menemukan pekerjaan yang
sekiranya cocok denganku. Seorang waiters.
Tak perlu ijazah dan tektek bengek lainnya sebagaimana persyaratan bekerja pada
umumnya.
Singkat
cerita aku pun diterima bekerja di sebuah kedai kecil yang terletak persis di
sebelah gedung percetakan buku. Maka dari itu kedai tempatku bekerja ini
terkesan sepi, karena yang berkunjung rata-rata seorang penulis yang sedang
mengerjakan project menulis mereka ataupun seorang editor yang sedang merevisi
naskah, rata-rata yang berkunjung memang orang-orang yang bekerja di kantor
percetakan itu atau mungkin relasi perusahaannya. Design ruangan kedai ini pun tidak terlalu luas. Bertemakan vintage
dengan warna coklat yang mendominasi. Di tengah-tengah ruangan terdapat kitchen room di mana kami biasa membuat
pesanan, oh ya kedai tempatku bekerja ini hanya menyediakan berbagai jenis
minuman dan hanya makanan ringan, kentang goreng, sosis bakar, roti bakar,
seperti itulah, tidak repot-repot memasak masakan berat, cukup mudah. Kemudian
beberapa meja dan kursi di bagian depan yang menghadap langsung ke jalanan
sementara sisanya ada beberapa meja dan kursi di sudut-sudut ruangan yang
bersisian dengan kitchen room adapula
meja panjang yang dipajang di luar kedai dengan beberapa kursi. Pun dengan
ornamen-ornamen seperti umumnya dan beberapa dekorasi yang menempel di dinding.
Suara
lonceng yang tergantung di atas pintu kedai berbunyi, tanda seseorang masuk.
Seorang perempuan, sepertinya seumuran denganku. Penampilannya seperti anak ibu
kota pada umumnya, celana boyfriend longgar yang dipadukan dengan kemeja
vintage motif bunga serta sneakers di kakinya dan kacamata yang membingkai
wajahnya. Perpaduan yang pas.
Dita, salah
satu rekan kerjaku menyenggol lenganku yang sedari tadi memerhatikan perempuan
tersebut, mengangkat dagunya yang diarahkan pada perempuan itu sebagai isyarat
aku harus segera melayaninya. Baiklah, kurapikan seragamku dan segera mengampiri
pelanggan pertama kedai kami.
“Selamat
pagi, mbak, silakan ini buku menu dan untuk pesanannya catat di sini ya.”
Kataku seraya menyerahkan buku menu, buku catatan dan bolpoint.
Perempuan
itu hanya menggangguk karena dia sendiri sedang sibuk membuka laptopnya. Ah,
aku jadi merasa bersalah sudah sedikit mengganggu kegiatannya, bagaimanapun
pelanggan ini adalah raja yang harus diperlakukan sebaik mungkin.
Aku tidak
tahu apa yang salah dengan diriku, jantungku rasanya berdebar lebih cepat
daripada biasanya. Kuperhatikan perempuan yang sedang sibuk membolak balik buku
menu dengan perasaan penasaran, rasanya dia tidak asing bagiku. Ah tapi segera
ku enyahkan saja perasaan itu, lagi pula aku merasa tak punya kenalan bahkan
keluarga di kota ini.
“Ini mas..”
Perempuan itu menyerahkan catatan pesanannya dan tepat saat itu pandangan kami
bertemu, sepersekian detik waktu terasa berhenti berputar, bahkan lidahku pun
kelu tak sanggup mengutarakan apapun, berpandangan sedekat ini membuatku
menyadari sesuatu. Matanya, astaga, mata itu, aku kenal betul.
Aku sedikit
terperanjat dan segera mengembalikan kesadaranku ke tempat ini, sampai akhirnya
berkata, “Ah.. iya mbak, satu hot lemon ya. Tunggu, akan segera kami buatkan.”
Aku segera
berlari ke kitchen room dan meminta
Dita untuk membuatkan pesanannya.
“Dit, lu
yang bikin ya, trus anterin ke mbak itu, gue ke belakang sebentar.” Dita
terlihat bingung melihat tingkahku, tapi ah apa peduliku, ada urusan lebih
penting. Hati.
Aku segera
berlari ke bagian belakang kedai, di mana terdapat dua kamar dan salah satunya
adalah kamarku yang aku tempati dengan salah satu rekan kerjaku di kedai ini,
Arman. Sepertinya dia sedang di kamar mandi, aman, aku langsung menutup pintu
dan menguncinya dari dalam.
Di dalam
kamar, aku sibuk mengobrak-abrik isi tasku, mencari sesuatu yang seingatku memang aku bawa dari rumah. Ah, ya, ketemu!
Sebuah foto.
Foto seorang gadis dengan seragam putih-abu dengan kacamata yang membingkai
wajahnya, kacamata yang sama persis dengan yang perempuan tadi kenakan.
Nadya. Dia
Nadya, aku yakin itu.
Seorang
perempuan yang sebenarnya lebih tua satu tahun dariku, dia kakak kelasku. Saat
SMA aku begitu menyukainya, sering kuganggu dia dengan SMS-SMS tak penting yang
tentu saja selalu mendapat balasan, ah aku pikir dulupun dia menyukaiku tapi
entahlah, mungkin juga dia memang baik pada semua orang. Tapi dulu aku terlalu
pengecut, dia itu sebenarnya terlalu jauh di atasku, pun banyak anak laki-laki
di sekolah kami yang mengejar-ngejar dia, bila dibandingkan denganku tentu saja
aku kalah telak, walau soal tampang sih aku berani beradu, tapi ah sudahlah itu
hanya aku yang masih bocah, tidak seberani itu menyatakan perasaan suka pada
seorang idola.
Tapi
sekarang, lihatlah dia, telah tumbuh menjadi seorang perempuan dewasa dan
kurasa cantiknya memang tak pernah pudar. Pun demikian sekarang dia tepat ada
di depanku, di depanku yang sama-sama telah tumbuh dan tak sepengecut dulu yang
tak pernah berani mencoba. Ah tapi apa? Tadi saja aku tak sanggup menghadapinya
dan memilih bersembunyi di sini. Tapi sisi lain aku berkata tidak. Tidak,
kurasa aku hanya kaget saja, aku tak pernah menyangka, setelah kurang lebih 4
tahun sejak lulus SMA aku tak pernah lagi melihatnya, apalagi bertegur sapa,
kami benar-benar putus kontak selama 4 tahun terakhir dan hari ini tiba-tiba
saja kami dipertemukan dengan cara seperti ini, dia menjadi tamuku dan aku
bertugas melayaninya.
Tapi, aku
tidak ingin kehilangan jejak lagi seperti dulu, mungkin ini waktu yang tepat.
Mungkin tidak ada salahnya aku mengajaknya kembali berbicara, sekedar melapas
rindu, rindu dengan teman lama. Tidak
ada salahnya bukan? Hanya menyapanya, sebagai seseorang yang berasal dari
daerah yang sama, tentu aku dan dia akan merasa ada teman di kota besar ini,
urusan kelanjutannya bisa diurus nanti, lagi pula aku tidak ingin berpikir
sejauh itu dulu sekarang. Menyapanya saat ini sudah lebih dari cukup, dengan
begitu kurasa hubungan kami yang sempat terputus akan lebih baik lagi.
Aku segera
kembali ke depan,dan secara kebetulan kulihat Dita sedang bersiap mengantarkan
hot lemon itu pada Nadya, kulihat juga sudah ada beberapa pelanggan lain yang
berdatangan. Aku segera merebutnya dari tangan Dita dengan hati-hati tentunya.
“Dit sorry
ya biar gue aja. Hehe”
Dita kembali
menatapku bingung.
Dengan
hati-hati aku bersiap mengantarkan pesanan Nadya, tapi saat mejanya dan jarakku
semakin dekat aku melihat seorang laki-laki dari arah pintu menghampirinya yang
duduk tepat di samping kaca jendela kedai ini. Nadya tampak sumringah melihat
kedatangan laki-laki itu dia segera berdiri dari tempatnya menyambut laki-laki
itu dengan sebuah.....pelukan hangat.
Asap tipis yang
mengepul dari hot lemon yang sedang kupegang ini terasa langsung menyembur
wajahku, seolah meledekku, mempermalukanku, menamparku, dan menyadarkanku.
Lihatlah
laki-laki yang berada dihadapan Nadya sekarang, tanpa perlu berpikir panjang
aku tahu apa-apa yang dikenakannya adalah barang-barang mahal yang bermerk,
lalu aku? Hanya berseragam waiters.
Hahahaa aku sungguh ingin mentertawakan diriku sendiri. Punya apa aku sehingga
berani mengajak berbicara sang idola? Lagipula, saat kami bertatapan tadi Nadya
sepertinya sudah tak lagi mengenaliku. Ha, lalu apa yang aku harapkan?
Baiklah,
lupakan semuanya Tomi. Kembali saja fokus pada dirimu sendiri, batinku.
Hot lemon
yang sudah kadung kepegang ini akhirnya terpaksa saja aku antarkan padanya,
tidak mungkin aku kembali menyuruh Dita yang mungkin saja bisa jadi marah karena
berkali-kali aku repotkan.
Dan saat ini
kursi tempat mereka duduk berada tepat dihadapanku, dengan melayani sebagaimana
mestinya, aku simpan hot lemon itu tepat di depan Nadya, karena dia yang
memesan. Setelah urusanku di meja itu selesai, aku segera membalikkan badanku
dan pergi meninggalkan mereka yang kembali asyik bercengkrama. Tapi, aku tak
sengaja sedikit mendengar percakapan mereka.
“Waw hot
lemon, kau benar-benar memesankannya untukku, Nad. Thank you.”
“Kau sendiri
belum pesan, Nad?” Tanya laki-laki itu melanjutkan.
“Tidak,
nanti saja.”
Jadi hot
lemon tadi Nadya pesankan untuk si laki-laki fancy itu? Dan dia sendiri belum memesan apapun? Kau memang selalu
baik, Nadya.
Aku yakin,
jika si hot lemon itu bisa berbicara mungkin dia akan mengejekku terus-terusan,
mungkin dia yang akan paling keras meneriakiku sebagai seorang pengecut.
Tapi ya
sudahlah..
Aku menarik
nafas panjang, ku lanjutkan berjalan menuju kitchen
room dengan langkah gontai. Dari sini aku bisa melihat mereka yang berbicara
begitu intim, mereka sangat terlihat begitu dekat. Tapi akupun tidak mau
berlarut-larut, aku dan Nadya memang sudah punya kehidupan masing-masing, sudah
punya tujuan masing-masing. Biar saja, pagi ini kuanggap sebagai bumbu pahit
dalam hidup yang pasti akan selalu ada, bukan? Dan besok akan kembali normal
sebagaimana biasanya.
“Baiklah, aku harus kembali bekerja, tak ada waktu untuk melamun.
Masih banyak yang harus aku kerjakan.” Batinku.
Ditunggu next episode kacaunya hati Tomi ya kak 😉
BalasHapusKacau tp ingin terlihat tegar :')
HapusLama nggak main ke blog ini, rasanya tulisanmu makin bagus, Shel. Cerpennya asyik dibaca. Ya, meski saya awalnya sempet ngira narator ini cewek dari gaya bertuturnya. Mungkin itu karakternya yang memang pemalu. Haha. Overall, keren~ Saya mendadak jadi pengin bikin cerpen juga. :D
BalasHapusIya aku juga lama ga main ke blog sendiri hahaa dan sejujurnya rada ga pede juga sih upload ini :(
HapusWkwkk iya yog itu si karakter utamanya ceritanya cowo pemalu gituloh :D
Yookk ayooo bikin cerpen lagi hehe