Ini adalah cerpen lanjutan dari cerpen sebelumnya yang aku tulis dua tahun lalu, jadi baca dulu part 1-nya di sini ya, biar enak :)
Happy Reading, everyone!!
Aku segera menyebrangi jalanan yang mulai sepi ini. Sekarang aku sudah tepat berada di depan kedai itu, ku tarik napas dalam-dalam sambil kemudian mendorong pintu masuk kedai. Suara lonceng berbunyi tanda seseorang baru saja masuk. Aku sedikit bernapas lega, ini masih sama seperti dulu. Desain di dalamnya pun tidak banyak berubah, masih dengan kitchen seet yang terletak ditengah-tengah kedai ini. Ada beberapa kursi yang sudah terisi, sedikit lebih ramai dari yang kukira. Aku segera memilih kursi kosong yang selalu saja kebetulan berdampingan langsung dengan jendela. Seorang waiters wanita datang menghampiriku, menyerahkan buku menu seraya ia siap-siap untuk mencatat pesananku.
Happy Reading, everyone!!
A CUP OF HOT LEMON ││ Waktu
yang Tidak Pernah Tepat (End)
Waktu berlalu begitu
cepat, ada banyak perubahan yang terjadi baik yang memang sudah direncanakan
maupun yang tidak terduga. Dua tahun yang lalu, aku masih menjadi seorang pegawai
magang di salah satu kantor percetakan buku yang cukup terkenal di kota ini.
Menjadi pegawai tetap di sana tentu saja adalah impianku, namun semesta tak
berkehendak akan itu, aku justru memilih tak meneruskan kontrakku di sana dan
aku sama sekali tidak menyesal. Lucu memang, dalam hidup ini akan selalu ada
hal-hal tak terduga yang terjadi pada kita.
Aku memandangi jalanan
kota yang cukup ramai dari ruang kerjaku di lantai 8 gedung ini. Kulihat jam
tangan yang bertengger manis di pergelangan tangan kiriku, ini masih jam kerja
tapi di luar sana mobil terlihat sudah sangat ramai sekali, pun dengan
orang-orang yang berlalu lalang.
“Mau ke mana sih mereka
itu?” Gerutuku.
Padahal aku tak berbeda jauh dengan mereka, sih. Aku memilih
meninggalkan pekerjaanku dan lalu menikmati hot lemon ini sambil memandangi
mereka di luar sana yang sepertinya sudah bosan juga dengan rutinitas
pekerjaan. Sesekali kuminum hot lemon yang panasnya cukup awet ini. Ah, hot
lemon ini membuatku kembali mengingat kenangan dua tahun lalu. Aku masih ingat
betul pernah memesankan minuman ini untuk seseorang yang sedang aku tunggu kedatangannya
di sebuah kedai kecil yang terletak tepat di seberang gedung kantorku dulu.
Kedai yang sangat kecil, begitu timpang dengan tempat-tempat lain di sana yang
cukup besar dan megah. Tapi kedai itu hampir menjadi tempat favorit orang-orang
kantor yang rata-rata seorang editor juga relasi kantor seperti para penulis
yang sedang berusaha merampungkan cerita
mereka.
Hari ini aku mendadak
bosan dengan pekerjaanku dan memilih untuk menikmati hot lemon yang kubuat
sendiri ini. Padahal sejak dua tahun lalu, setelah dari kedai itu, aku sudah
tidak mau lagi membuat atau memasan hot lemon karena ya, untuk siapa? Hanya
saja hari ini, ingatanku sedikit terusik tentang seseorang. Bukan seseorang
yang aku tunggu kedatangannya di kedai pada hari itu. Melainkan seseorang yang
datang memberiku buku menu dan kembali mengantarkan hot lemon pesananku. Aku jelas
tahu betul siapa orang itu meskipun pada saat itu sudah 4 tahun kami tidak bertemu.
Ia adalah Tomi, teman SMA-ku dulu yang juga adalah adik kelasku. Oh iya, sempat
aku bilang tadi bahwa aku tidak menyesal keluar dari kantorku sebelumnya, kan?
Sebenarnya ada satu hal yang aku sesali, tidak sempat bertukar sapa dengan Tomi.
Saat SMA dulu dia
seringkali mengirimiku pesan-pesan yang tidak penting sebenarnya tapi
menyenangkan sekali rasanya diganggu olehnya. Teman-temanku bilang Tomi menyukaiku,
bahkan akupun berpikir demikian. Tapi sayangnya sampai aku lulus SMA pun Tomi
tidak pernah mengatakan apapun hingga akhirnya kami lost contact begitu
saja. Harusnya hari itu di mana kami kembali dipertemukan tanpa sengaja, kutanyakan langsung saja ya padanya tentang
persaannya dulu? Hahaha..sayang sekali kami bertemu di waktu yang tidak tepat saat
itu.
Kulihat kembali jam
tangan yang bertengger manis dipergelangan tangan kiriku, waktu sudah
menunjukan jam istirahat kerja. Tanpa berpikir panjang aku langsung saja memesan
ojek online untuk pergi ke suatu tempat siang ini. Tak lama, ojek online
pesananku telah datang, aku segera keluar dari gedung kantorku meletakkan begitu
saja hot lemonku yang masih penuh, menaiki mobil yang sudah menjemputku. Ada
gemuruh yang ramai dalam dadaku yang menemani perjalananku siang ini, dalam
kepalaku pun rasanya sangat ramai sekali oleh segala teka-teki yang entah akan
terpecahkan seperti apa. Bising sekali rasanya diriku siang ini, sampai-sampai pemutar
musik dalam mobil ini yang sengaja dinyalakan oleh driver pun tak terdengar
sama sekali olehku.
Dalam waktu 30 menit 04
detik aku sudah berada tepat di depan sebuah gedung perkantoran yang begitu
akrab denganku dulu. Tujuan yang kutulis saat memesan ojek online tadi memang
adalah gedung kantorku dulu walaupun bukan itu tujuanku sebenarnya. Aku tidak ingat
bahkan tidak tahu nama kedai yang sempat
aku datangi dua tahun lalu itu. Mataku tertuju ke seberang jalan, pada sebuah
bangunan minimalis yang tampak begitu berbeda dengan bangunan-bangunan sekitarnya
yang luas dan megah. Dia tetap minimalis walaupun aku pikir desainnya cukup
berbeda sekarang. Aku tidak berpikir bahwa kedai itu adalah masih sama dengan
kedai yang aku datangi dulu, segala kemungkinan bisa saja terjadi, kan? Dan berharap
sedikit pun tidak masalah, kan? Kali ini kuperhatikan nama kedai itu.
Kedai Teh Kamu.
Aku segera menyebrangi jalanan yang mulai sepi ini. Sekarang aku sudah tepat berada di depan kedai itu, ku tarik napas dalam-dalam sambil kemudian mendorong pintu masuk kedai. Suara lonceng berbunyi tanda seseorang baru saja masuk. Aku sedikit bernapas lega, ini masih sama seperti dulu. Desain di dalamnya pun tidak banyak berubah, masih dengan kitchen seet yang terletak ditengah-tengah kedai ini. Ada beberapa kursi yang sudah terisi, sedikit lebih ramai dari yang kukira. Aku segera memilih kursi kosong yang selalu saja kebetulan berdampingan langsung dengan jendela. Seorang waiters wanita datang menghampiriku, menyerahkan buku menu seraya ia siap-siap untuk mencatat pesananku.
“Satu hot lemon dan strawberry
pancake-nya ya mbak.” Kataku sambil menyerahkan kembali buku menu kepada waiters
wanita itu yang kulihat dari nametag-nya bernama Dita.
Segera setelah waiters
itu pergi, aku memperhatikan sekeliling, yang aku lihat hanya ada dua orang
pelayan perempuan dengan mbak Dita tadi serta seorang laki-laki yang sedang
sibuk membuat minuman yang aku yakini itu bukan Tomi.
“Mbak sorry, Mbak Dita.”
Panggilku kepada seorang waiters bernama Dita itu yang sedang memberikan
pesanan lain di meja sebelahku. Ia terlihat cukup kaget karena aku mengetahui namanya,
namun kemudian dia tersadar bahwa ia memakai nametag sehingga wajar aku
tahu namanya.
“Ya mbak? Ada pesanan tambahan,
kah?” Tanyanya ramah.
“Ah, eh..enggak sih,
Mbak.” Kulihat wajahnya tampak bingung sambil tetap sabar menunggu jawabanku
selanjutnya.
“Dulu, di sini ada seorang
waiters laki-laki bernama Tomi, kan, Mbak? Tanyaku sedikit hati-hati.
Kulihat raut wajahnya sedikit berubah saat aku menyebut nama Tomi.
“Dia masih kerja di sini,
kan?” Aku kembali bertanya.
“Oh, Tomi ya. Masih kok.
Mbak ada perlu sama Tomi? Bisa saya panggil sekarang sih.”
Ada sedikit senyum yang
samar terukir di wajahku. Dia masih di sini. Batinku.
“Ah, iya, Mbak.” Jawabku
mantap.
“Oke, mbak. Boleh saya
tahu nama mbak? Biar saya kasih tahu Tomi sekarang.”
“Nadya.”
Gemuruh itu muncul lagi.
Tak lama seorang pria dengan
seragam yang sedikit berbeda dari waiters lainnya datang ke mejaku. Dia
Tomi, masih sama tampan seperti dulu, kulit putih dan rambut pirangnya itu
jelas membuat dia terlihat berbeda dari teman-teman SMA-nya dulu. Hari ini
kulihat badannya sedikit lebih berisi tapi sangat pas dengan postur tubuhnya.
“Nadya!” Sapanya penuh
semangat sambil mendorong kursi di depanku seraya duduk di sana.
“Ini benar-benar kejutan.
Tiba-tiba kamu datang lagi ke sini.”
Kata “lagi” yang Tomi katakan
itu meyakinkanku bahwa dulu juga dia mengenaliku. Hanya saja mungkin dulu kami
sama-sama terkejut sampai tak sempat bertukar sapa. Tapi kali ini Tomi sedikit
berbeda, dia lebih berani dari yang ku kenal dulu sedikit malu-malu. Mungkin sifat
malu-malunya itu masih menempel saat dua tahun lalu kami bertemu di sini.
“Hai Tom, apa kabar? Kamu
sepertinya masih ingat dulu aku pernah datang ke sini, kan?” Ujarku penuh
semangat serta senyum yang lebar, sudah cukup lama rasanya aku tidak merasa
semenyenangkan ini.
“Aku baik Nad, sangat
baik. Kamu bisa lihat mungkin kalau sekarang aku gendut banget. Hahahaha.”
Ucapnya seraya tertawa cukup kencang siang itu. Lagi-lagi aku merasa ini sangat
menyenangkan.
“Aku ingat kok, Nad. Kamu
dulu pernah datang ke sini. Aku pikir kamu dulu gak kenal aku malah. Makanya
aku kaget waktu di kasih tahu Dita tadi ada seseorang datang mencariku. Nadya,
katanya, hahaha.” Ia kembali tertawa, Tomi ini sangat penuh semangat dan antusias
sekali rupanya. Berbeda jauh dengan Tomi yang aku kenal dulu.
“Eh kamu apa kabar, Nad?”
“Ya, baik juga kok, Tom.”
Jawabku santai.
“Jadi…Gimana ceritanya
kamu bisa ke sini lagi?” Aku tersenyum mendengar pertanyaan Tomi. Rasanya agak
memalukan bila aku bilang dengan gamblang kalau aku datang ke sini memang untuk
mencarinya.
“Itu sekitar dua tahun
lalu kan, Nad? Kalau aku tidak salah ingat sih itu pertama dan terakhir kali
kamu datang ke sini sebelum secara mengejutkan hari ini kamu datang lagi, Nad.”
“Iya..dua tahun lalu. Dulu
itu hari terakhirku sebagai anak magang di kantor percetakan di depan itu, Tom.
Aku sudah enam bulan magang di sana, dan seharusnya sih aku bisa diangkat sebagai
pegawai tetap, tapi dulu aku memutuskan untuk tidak melanjutkan kontrak.”
“Wah..sayang sekali ya
Nad. Karena kamu nggak datang lagi ke
sini, aku pikir kamu memang hanya mampir dan nggak kerja di lingkungan sini,
sedikit menyesal jadinya karena tidak menyapa kamu. Maaf ya Nad.”
“Ha..ha..ha.. ya nggak apa-apa
sih Tom, aku juga sama aja kan enggak nyapa kamu, padahal aku tahu itu kamu.”
“Aku dulu canggung, Nad.
Kamu sepertinya dateng bukan sama kenalan atau temen biasa sih.”
Aku tersenyum kecut
sambil sedikit berdecak, “ya, tunanganku, dulu.”
“Nah tuh kan. Jadi sekarang
dia…suamimu?” Tanya Tomi hati-hati.
“Iya..suami orang.
Hahahah.” Sekarang giliranku yang tertawa cukup kencang.
“Lho..lho, Nad, serius?”
“Iya, dia tunanganku
dulu, tapi sekarang sudah menikah. Bukan denganku.” Kataku sedikit meratap saat
menyebutkan kata “bukan denganku.”
“Dua tahun lalu, di
kedai ini, aku putus dengan dia, Tom. Memang tujuan kami berbeda saat itu, jalan
kami benar-benar berbeda. Sehingga dia rela memutuskan pertunangan kami.”
“Lalu, kamu enggak coba mempertahankan?”
Sebelum aku menjawab
pertanyaan Tomi, pesananku siang itu datang. Satu cangkir hot lemon
beserta strawberry pancake yang terlihat manis itu diantarkan oleh seorang
waiters yang juga tadi melayaniku saat aku memesan menu.
“Makasih mbak.” Ucapku
pada waiters itu.
Saat waiters itu hendak
pergi, Tomi menahannya, memintanya duduk di sampingnya. Kebetulan ada empat kursi
di bangku ini, sampingku dan samping Tomi memang kosong. Aku sedikit bingung
kenapa Tomi meminta waiters itu duduk di sebelahnya.
“Nadya, aku minta maaf
sebelumnya, di saat kamu datang ke sini dan menceritakan kisahmu yang mungkin
tidak cukup baik. Bukan tidak menghargai sedihmu, tapi aku pikir perlu mengabarkan
dan mengenalkan kalian.”
Dahiku berkerut, tidak mengerti
sebenernya arah pembicaraan Tomi itu. Aku memang sedang bercerita tentang
pernikahanku yang gagal, tapi sebenarnya tidak bersedih, toh itu sudah lama
sekali. Aku sudah baik-baik saja sekarang.
“Dita, kenalkan, ini
Nadya teman SMA-ku dulu. Kakak kelas tepatnya, aku pernah ceritakan dia kan
padamu. Dan, Nadya, kenalkan ini Dita, dia lebih dulu satu tahun kerja di sini
sebelum aku. Dita ini sekarang sudah jadi istri aku, Nad.”
Aku. Sangat. Terkejut.
Mendengarnya.
Gemuruh yang tadi sempat
bising itu datang lagi, namun rasanya berbeda. Ini seperti…. menusuk?
Sepersekian detik aku
mendukan kepalaku, rasanya tak sanggup harus menatap wajah mereka.
“Oh..ah, iya..kalian
suami istri. Selamat, ya.” Kataku yang tiba-tiba berubah menjadi sangat
canggung. Sekarang aku paham kenapa raut wajah Dita tadi sedikit berubah ketika
aku menyebut nama Tomi dan mengatakan ingin bertemu dengannya.
“Kamu sebenarnya nggak
perlu minta maaf segala karena mengabarkan berita pernikahan disaat aku baru
saja bercerita kalau pernikahanku gagal. Aku nggak bersedih, itu sudah lama
lewat, Tom.” Tapi sepertinya sekarang aku sedih karena hal lain, Tom. Kataku
membatin.
“Sudah berapa lama?”
Tanyaku setelah sedikit lebih baik aku rasa.
“Baru enam bulan, Mbak.”
Dita yang menjawab
“Oh..iya, masih
pengantin baru ya.” Kami pun tertawa bersama-sama. Ah, kalau aku mungkin lebih
mentertawakan diriku sendiri yang sedari tadi terlampau percaya diri.
“Dulu, waktu kamu datang
ke sini sebenarnya aku cerita ke Dita kalau kamu adalah kakak kelas yang sangat
aku taksir, bahkan sampai saat itu loh, Nad, hahaha..” Dita dan Tomi kembali
tertawa.
“Aku nggak apa-apa, Mbak,
toh itu kan masa lalu.” Lanjut Dita, yang sepertinya melihatku menjadi canggung
saat ini.
“Ah..iya.” Jawabku sedikit
terbata.
Aku kemudian meminta mereka
untuk melanjutkan pekerjaannya, karena aku pun harus segara kembali ke kantorku
walaupun jam masuk kerja sudah lewat sejak 30 menit yang lalu. Aku meninggalkan
kedai itu bahkan saat pesananku sama sekali belum tersentuh olehku. Rasanya
jadi enggak ada nafsu makan lagi.
Sejak aku datang ke kedai
ini aku memang tidak banyak berharap. Tapi teka-teki yang terpecahkan itu
ternyata sangat jauh di luar dugaanku. Aku memang ingin bertemu Tomi, ya
sekedar untuk bersua kembali setelah sekian lama berpisah. Tapi mendengar kabar
dia telah menikah dari mulutnya sendiri dan bahkan dengan mengenalkan istrinya
langsung di depanku, kenapa terasa sesak, ya? Rasanya aku sudah benar-benar
kehilangan kesempatan, dan…..harapan?
Di kedai ini aku dua
kali bertemu dengan Tomi, dan satu hal yang akhirnya aku sadari. Kedua
pertemuan kami bukanlah pertemuan di waktu yang tepat.
Aku kembali meninggalkan
kedai ini dengan perasaan hampa dan menyedihkan. Sama seperti dua tahun yang
lalu.
Selesai.
Komentar
Posting Komentar
Mari berkomentar, mari berkawan! Ketahuilah, komentarmu sangat berarti. Terima kasih :))))