Langsung ke konten utama

A CUP OF HOT LEMON ││ Waktu yang Tidak Pernah Tepat (End)

Ini adalah cerpen lanjutan dari cerpen sebelumnya yang aku tulis dua tahun lalu, jadi baca dulu part 1-nya di sini ya, biar enak :)

Happy Reading, everyone!!


A CUP OF HOT LEMON ││ Waktu yang Tidak Pernah Tepat (End)


Waktu berlalu begitu cepat, ada banyak perubahan yang terjadi baik yang memang sudah direncanakan maupun yang tidak terduga. Dua tahun yang lalu, aku masih menjadi seorang pegawai magang di salah satu kantor percetakan buku yang cukup terkenal di kota ini. Menjadi pegawai tetap di sana tentu saja adalah impianku, namun semesta tak berkehendak akan itu, aku justru memilih tak meneruskan kontrakku di sana dan aku sama sekali tidak menyesal. Lucu memang, dalam hidup ini akan selalu ada hal-hal tak terduga yang terjadi pada kita.

Aku memandangi jalanan kota yang cukup ramai dari ruang kerjaku di lantai 8 gedung ini. Kulihat jam tangan yang bertengger manis di pergelangan tangan kiriku, ini masih jam kerja tapi di luar sana mobil terlihat sudah sangat ramai sekali, pun dengan orang-orang yang berlalu lalang.

“Mau ke mana sih mereka itu?” Gerutuku. 
Padahal aku tak berbeda jauh dengan mereka, sih. Aku memilih meninggalkan pekerjaanku dan lalu menikmati hot lemon ini sambil memandangi mereka di luar sana yang sepertinya sudah bosan juga dengan rutinitas pekerjaan. Sesekali kuminum hot lemon yang panasnya cukup awet ini. Ah, hot lemon ini membuatku kembali mengingat kenangan dua tahun lalu. Aku masih ingat betul pernah memesankan minuman ini untuk seseorang yang sedang aku tunggu kedatangannya di sebuah kedai kecil yang terletak tepat di seberang gedung kantorku dulu. Kedai yang sangat kecil, begitu timpang dengan tempat-tempat lain di sana yang cukup besar dan megah. Tapi kedai itu hampir menjadi tempat favorit orang-orang kantor yang rata-rata seorang editor juga relasi kantor seperti para penulis yang sedang  berusaha merampungkan cerita mereka.

Hari ini aku mendadak bosan dengan pekerjaanku dan memilih untuk menikmati hot lemon yang kubuat sendiri ini. Padahal sejak dua tahun lalu, setelah dari kedai itu, aku sudah tidak mau lagi membuat atau memasan hot lemon karena ya, untuk siapa? Hanya saja hari ini, ingatanku sedikit terusik tentang seseorang. Bukan seseorang yang aku tunggu kedatangannya di kedai pada hari itu. Melainkan seseorang yang datang memberiku buku menu dan kembali mengantarkan hot lemon pesananku. Aku jelas tahu betul siapa orang itu meskipun pada saat itu sudah 4 tahun kami tidak bertemu. Ia adalah Tomi, teman SMA-ku dulu yang juga adalah adik kelasku. Oh iya, sempat aku bilang tadi bahwa aku tidak menyesal keluar dari kantorku sebelumnya, kan? Sebenarnya ada satu hal yang aku sesali, tidak sempat bertukar sapa dengan Tomi.

Saat SMA dulu dia seringkali mengirimiku pesan-pesan yang tidak penting sebenarnya tapi menyenangkan sekali rasanya diganggu olehnya. Teman-temanku bilang Tomi menyukaiku, bahkan akupun berpikir demikian. Tapi sayangnya sampai aku lulus SMA pun Tomi tidak pernah mengatakan apapun hingga akhirnya kami lost contact begitu saja. Harusnya hari itu di mana kami kembali dipertemukan tanpa sengaja,  kutanyakan langsung saja ya padanya tentang persaannya dulu? Hahaha..sayang sekali kami bertemu di waktu yang tidak tepat saat itu.

Kulihat kembali jam tangan yang bertengger manis dipergelangan tangan kiriku, waktu sudah menunjukan jam istirahat kerja. Tanpa berpikir panjang aku langsung saja memesan ojek online untuk pergi ke suatu tempat siang ini. Tak lama, ojek online pesananku telah datang, aku segera keluar dari gedung kantorku meletakkan begitu saja hot lemonku yang masih penuh, menaiki mobil yang sudah menjemputku. Ada gemuruh yang ramai dalam dadaku yang menemani perjalananku siang ini, dalam kepalaku pun rasanya sangat ramai sekali oleh segala teka-teki yang entah akan terpecahkan seperti apa. Bising sekali rasanya diriku siang ini, sampai-sampai pemutar musik dalam mobil ini yang sengaja dinyalakan oleh driver pun tak terdengar sama sekali olehku.

Dalam waktu 30 menit 04 detik aku sudah berada tepat di depan sebuah gedung perkantoran yang begitu akrab denganku dulu. Tujuan yang kutulis saat memesan ojek online tadi memang adalah gedung kantorku dulu walaupun bukan itu tujuanku sebenarnya. Aku tidak ingat bahkan  tidak tahu nama kedai yang sempat aku datangi dua tahun lalu itu. Mataku tertuju ke seberang jalan, pada sebuah bangunan minimalis yang tampak begitu berbeda dengan bangunan-bangunan sekitarnya yang luas dan megah. Dia tetap minimalis walaupun aku pikir desainnya cukup berbeda sekarang. Aku tidak berpikir bahwa kedai itu adalah masih sama dengan kedai yang aku datangi dulu, segala kemungkinan bisa saja terjadi, kan? Dan berharap sedikit pun tidak masalah, kan? Kali ini kuperhatikan nama kedai itu.

Kedai Teh Kamu.

Aku segera menyebrangi jalanan yang mulai sepi ini. Sekarang aku sudah tepat berada di depan kedai itu, ku tarik napas dalam-dalam sambil kemudian mendorong pintu masuk kedai. Suara lonceng berbunyi tanda seseorang baru saja masuk. Aku sedikit bernapas lega, ini masih sama seperti dulu. Desain di dalamnya pun tidak banyak berubah, masih dengan kitchen seet yang terletak ditengah-tengah kedai ini. Ada beberapa kursi yang sudah terisi, sedikit lebih ramai dari yang kukira. Aku segera memilih kursi kosong yang selalu saja kebetulan berdampingan langsung dengan jendela. Seorang waiters wanita datang menghampiriku, menyerahkan buku menu seraya ia siap-siap untuk mencatat pesananku.

“Satu hot lemon dan strawberry pancake-nya ya mbak.” Kataku sambil menyerahkan kembali buku menu kepada waiters wanita itu yang kulihat dari nametag-nya bernama Dita.

Segera setelah waiters itu pergi, aku memperhatikan sekeliling, yang aku lihat hanya ada dua orang pelayan perempuan dengan mbak Dita tadi serta seorang laki-laki yang sedang sibuk membuat minuman yang aku yakini itu bukan Tomi.

“Mbak sorry, Mbak Dita.” Panggilku kepada seorang waiters bernama Dita itu yang sedang memberikan pesanan lain di meja sebelahku. Ia terlihat cukup kaget karena aku mengetahui namanya, namun kemudian dia tersadar bahwa ia memakai nametag sehingga wajar aku tahu namanya.

“Ya mbak? Ada pesanan tambahan, kah?” Tanyanya ramah.

“Ah, eh..enggak sih, Mbak.” Kulihat wajahnya tampak bingung sambil tetap sabar menunggu jawabanku selanjutnya.

“Dulu, di sini ada seorang waiters laki-laki bernama Tomi, kan, Mbak? Tanyaku sedikit hati-hati. Kulihat raut wajahnya sedikit berubah saat aku menyebut nama Tomi.

“Dia masih kerja di sini, kan?” Aku kembali bertanya.

“Oh, Tomi ya. Masih kok. Mbak ada perlu sama Tomi? Bisa saya panggil sekarang sih.”

Ada sedikit senyum yang samar terukir di wajahku. Dia masih di sini. Batinku.

“Ah, iya, Mbak.” Jawabku mantap.

“Oke, mbak. Boleh saya tahu nama mbak? Biar saya kasih tahu Tomi sekarang.”

“Nadya.”

Gemuruh itu muncul lagi.

Tak lama seorang pria dengan seragam yang sedikit berbeda dari waiters lainnya datang ke mejaku. Dia Tomi, masih sama tampan seperti dulu, kulit putih dan rambut pirangnya itu jelas membuat dia terlihat berbeda dari teman-teman SMA-nya dulu. Hari ini kulihat badannya sedikit lebih berisi tapi sangat pas dengan postur tubuhnya.

“Nadya!” Sapanya penuh semangat sambil mendorong kursi di depanku seraya duduk di sana.

“Ini benar-benar kejutan. Tiba-tiba kamu datang lagi ke sini.”

Kata “lagi” yang Tomi katakan itu meyakinkanku bahwa dulu juga dia mengenaliku. Hanya saja mungkin dulu kami sama-sama terkejut sampai tak sempat bertukar sapa. Tapi kali ini Tomi sedikit berbeda, dia lebih berani dari yang ku kenal dulu sedikit malu-malu. Mungkin sifat malu-malunya itu masih menempel saat dua tahun lalu kami bertemu di sini.

“Hai Tom, apa kabar? Kamu sepertinya masih ingat dulu aku pernah datang ke sini, kan?” Ujarku penuh semangat serta senyum yang lebar, sudah cukup lama rasanya aku tidak merasa semenyenangkan ini.

“Aku baik Nad, sangat baik. Kamu bisa lihat mungkin kalau sekarang aku gendut banget. Hahahaha.” Ucapnya seraya tertawa cukup kencang siang itu. Lagi-lagi aku merasa ini sangat menyenangkan.

“Aku ingat kok, Nad. Kamu dulu pernah datang ke sini. Aku pikir kamu dulu gak kenal aku malah. Makanya aku kaget waktu di kasih tahu Dita tadi ada seseorang datang mencariku. Nadya, katanya, hahaha.” Ia kembali tertawa, Tomi ini sangat penuh semangat dan antusias sekali rupanya. Berbeda jauh dengan Tomi yang aku kenal dulu.

“Eh kamu apa kabar, Nad?”

“Ya, baik juga kok, Tom.” Jawabku santai.

“Jadi…Gimana ceritanya kamu bisa ke sini lagi?” Aku tersenyum mendengar pertanyaan Tomi. Rasanya agak memalukan bila aku bilang dengan gamblang kalau aku datang ke sini memang untuk mencarinya.

“Itu sekitar dua tahun lalu kan, Nad? Kalau aku tidak salah ingat sih itu pertama dan terakhir kali kamu datang ke sini sebelum secara mengejutkan hari ini kamu datang lagi, Nad.”

“Iya..dua tahun lalu. Dulu itu hari terakhirku sebagai anak magang di kantor percetakan di depan itu, Tom. Aku sudah enam bulan magang di sana, dan seharusnya sih aku bisa diangkat sebagai pegawai tetap, tapi dulu aku memutuskan untuk tidak melanjutkan kontrak.”

“Wah..sayang sekali ya Nad. Karena kamu nggak datang lagi  ke sini, aku pikir kamu memang hanya mampir dan nggak kerja di lingkungan sini, sedikit menyesal jadinya karena tidak menyapa kamu. Maaf ya Nad.”

“Ha..ha..ha.. ya nggak apa-apa sih Tom, aku juga sama aja kan enggak nyapa kamu, padahal aku tahu itu kamu.”

“Aku dulu canggung, Nad. Kamu sepertinya dateng bukan sama kenalan atau temen biasa sih.”
Aku tersenyum kecut sambil sedikit berdecak, “ya, tunanganku, dulu.”

“Nah tuh kan. Jadi sekarang dia…suamimu?” Tanya Tomi hati-hati.

“Iya..suami orang. Hahahah.” Sekarang giliranku yang tertawa cukup kencang.

“Lho..lho, Nad, serius?”

“Iya, dia tunanganku dulu, tapi sekarang sudah menikah. Bukan denganku.” Kataku sedikit meratap saat menyebutkan kata “bukan denganku.”

“Dua tahun lalu, di kedai ini, aku putus dengan dia, Tom. Memang tujuan kami berbeda saat itu, jalan kami benar-benar berbeda. Sehingga dia rela memutuskan pertunangan kami.”

“Lalu, kamu enggak coba mempertahankan?”

Sebelum aku menjawab pertanyaan Tomi, pesananku siang itu datang. Satu cangkir hot lemon beserta strawberry pancake yang terlihat manis itu diantarkan oleh seorang waiters yang juga tadi melayaniku saat aku memesan menu.

“Makasih mbak.” Ucapku pada waiters itu.

Saat waiters itu hendak pergi, Tomi menahannya, memintanya duduk di sampingnya. Kebetulan ada empat kursi di bangku ini, sampingku dan samping Tomi memang kosong. Aku sedikit bingung kenapa Tomi meminta waiters itu duduk di sebelahnya.

“Nadya, aku minta maaf sebelumnya, di saat kamu datang ke sini dan menceritakan kisahmu yang mungkin tidak cukup baik. Bukan tidak menghargai sedihmu, tapi aku pikir perlu mengabarkan dan mengenalkan kalian.”

Dahiku berkerut, tidak mengerti sebenernya arah pembicaraan Tomi itu. Aku memang sedang bercerita tentang pernikahanku yang gagal, tapi sebenarnya tidak bersedih, toh itu sudah lama sekali. Aku sudah baik-baik saja sekarang.

“Dita, kenalkan, ini Nadya teman SMA-ku dulu. Kakak kelas tepatnya, aku pernah ceritakan dia kan padamu. Dan, Nadya, kenalkan ini Dita, dia lebih dulu satu tahun kerja di sini sebelum aku. Dita ini sekarang sudah jadi istri aku, Nad.”

Aku. Sangat. Terkejut. Mendengarnya.

Gemuruh yang tadi sempat bising itu datang lagi, namun rasanya berbeda. Ini seperti…. menusuk?
Sepersekian detik aku mendukan kepalaku, rasanya tak sanggup harus menatap wajah mereka.

“Oh..ah, iya..kalian suami istri. Selamat, ya.” Kataku yang tiba-tiba berubah menjadi sangat canggung. Sekarang aku paham kenapa raut wajah Dita tadi sedikit berubah ketika aku menyebut nama Tomi dan mengatakan ingin bertemu dengannya.

“Kamu sebenarnya nggak perlu minta maaf segala karena mengabarkan berita pernikahan disaat aku baru saja bercerita kalau pernikahanku gagal. Aku nggak bersedih, itu sudah lama lewat, Tom.” Tapi sepertinya sekarang aku sedih karena hal lain, Tom. Kataku membatin.

“Sudah berapa lama?” Tanyaku setelah sedikit lebih baik aku rasa.

“Baru enam bulan, Mbak.” Dita yang menjawab

“Oh..iya, masih pengantin baru ya.” Kami pun tertawa bersama-sama. Ah, kalau aku mungkin lebih mentertawakan diriku sendiri yang sedari tadi terlampau percaya diri.

“Dulu, waktu kamu datang ke sini sebenarnya aku cerita ke Dita kalau kamu adalah kakak kelas yang sangat aku taksir, bahkan sampai saat itu loh, Nad, hahaha..” Dita dan Tomi kembali tertawa.

“Aku nggak apa-apa, Mbak, toh itu kan masa lalu.” Lanjut Dita, yang sepertinya melihatku menjadi canggung saat ini.

“Ah..iya.” Jawabku sedikit terbata.

Aku kemudian meminta mereka untuk melanjutkan pekerjaannya, karena aku pun harus segara kembali ke kantorku walaupun jam masuk kerja sudah lewat sejak 30 menit yang lalu. Aku meninggalkan kedai itu bahkan saat pesananku sama sekali belum tersentuh olehku. Rasanya jadi enggak ada nafsu makan lagi.

Sejak aku datang ke kedai ini aku memang tidak banyak berharap. Tapi teka-teki yang terpecahkan itu ternyata sangat jauh di luar dugaanku. Aku memang ingin bertemu Tomi, ya sekedar untuk bersua kembali setelah sekian lama berpisah. Tapi mendengar kabar dia telah menikah dari mulutnya sendiri dan bahkan dengan mengenalkan istrinya langsung di depanku, kenapa terasa sesak, ya? Rasanya aku sudah benar-benar kehilangan kesempatan, dan…..harapan?

Di kedai ini aku dua kali bertemu dengan Tomi, dan satu hal yang akhirnya aku sadari. Kedua pertemuan kami bukanlah pertemuan di waktu yang tepat.

Aku kembali meninggalkan kedai ini dengan perasaan hampa dan menyedihkan. Sama seperti dua tahun yang lalu.



Selesai.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Manis Pait Tukang Jarkom

Pernah denger istilah “Jarkom”? Pastilah ya pasti banget. Ini istilah paling fenomenal di kalangan anak SMA khususnya sih Mahasiswa. Gue sendiri pertama denger istilah ini pas jaman-jaman ospek kuliah, banyak benget yang ngomong “kalo ada info apa-apa jarkom ya” awalnya gue bingung sih apaan itu jarkom, tapi setelah gue nyari info ternyata jarkom ini sebenernya kata lain dari istilahnya anak alay “send all” yang lebih kekinian. Gitu. Sadar gak sadar istilah ini seolah menjadi bagian yang penting dalam kehidupan keseharian mahasiswa khususnya. Gue yakin banyak mahasiswa yang hampir tiap harinya keluar istilah ini dari mulut mereka, yaa apalagi mereka para aktivis kampus. Bener gak? Kata orang pinter sih (baca:Google) jarkom itu kependekan dari “jaringan komunikasi” dimana satu orang dalam organisasi harus menyampaikan informasi dengan cara menyebarkannya melalui media elektronik ke semua anggota di organisasi tersebut. Biasanya sih orang humas yang jadi tukang jarkom. Namanya humas k

Naskah Berita, Liputan Objek Wisata Situ Lengkong Panjalu

Sumber gambar: Google Objek wisata Situ Lengkong Panjalu merupakan perpaduan objek wisata alam, budaya dan ziarah yang terdapat di Kabupaten Ciamis, Jawa Barat. Situ Lengkong Panjalu merupakan sebuah danau dengan luas 57,95 hektar dan kedalaman air sekitar 4 sampai 6 meter. Dengan menumpuh jarak 32 km dari Kota Ciamis kita sudah bisa sampai di tempat wisata ini.  Untuk masuk ke tempat wisata ini kita cukup merogoh kocek sebesar Rp. 3000/orang. Di tengah danau Situ Lengkong terdapat pulau yang disebut dengan Nusa Gede yang menjadi tujuan ziarah wisatawan. Nusa Gede pada awalnya merupakan pusat pemerintahan Kerajaan Panjalu dan kini di dalamnya terdapat makam Hariang Kencana yang merupakan anak dari Prabu Sanghyang Borosngora yang merupakan Raja Islam pertama di Kerjaan Panjalu. Masyarakat Panjalu sendiri menyebut Hariang Kencana sebagai Syekh Panjalu. Menurut cerita dari mulut ke mulut masyarakat sekitar bahwa air yang terdapat di danau Situ Panjalu merupakan tetesan ai

[CERPEN] Januari

Januari Oleh: Shela Gumilang Hari itu adalah hari ke empat di bulan Januari saat tanpa sengaja kita dipertemukan kembali di alun-alun kota setelah beberapa bulan tak bersua. Saat itu ku pikir rasaku padamu tak lagi sama seperti dulu, ku kira aku sudah mati rasa padamu, namun nyatanya setelah melihat senyummu itu hari-hariku seperti menjadi rusak dibuatnya. Hanya karena seulas senyum, aku dibuat menggila karenanya. Tapi apa kau tahu bahwa setelahnya juga aku merasa sakit? Sungguh tak ada yang lebih sakit ketika kita harus bertemu kembali namun seolah sebelumnya tak pernah terjadi apa-apa diantara kita. Kau hanya tersenyum kepadaku, lalu aku merasa semakin tak waras karenanya dan kau pergi lagi begitu saja tanpa sepatah kata pun. Aku melihatmu melangkah pergi saat itu, berjalan melewatiku tanpa sedikit pun ingin menatapku lagi sedangkan lidahku kelu tak mampu hanya sekedar untuk memanggil namamu. Hari berganti hari tapi bayangan tentang senyummu pagi itu seolah tak perna