Langsung ke konten utama

Berjalan Lebih Jauh

Jarum pendek pada jam dipergelangan tanganku tepat menunjuk angka satu, tidak lama lagi, Khala, kekasihku akan datang menjemputku. Secara tidak tertulis Jumat siang adalah jadwal wajib kami bertemu setiap minggunya, karena pada hari itu kuliahku libur, sementara Khala, dia memang masih berjuang mendapatkan pekerjaan baru setelah beberapa bulan lalu resign dari tempat kerja sebelumnya. Sebenarnya aku sedikit khawatir karena setelah sekian lama, Khala masih belum mendapatkan pekerjaan juga. Bukan aku malu memiliki kekasih seorang pemuda desa tak kerja, hanya saja aku tak sanggup membayangkan bagaimana pandangan orang tua dan keluargaku jika kekasih yang selalu aku banggakan adalah seorang pengangguran. Khala pun mengerti dengan keadaan ini, sempat beberapa kali aku sedikit menyindir masalah pekerjaan padanya, bukan maksud untuk melukai, aku hanya ingin memberi sedikit motivasi untuknya. Hasilnya, bisa kulihat bagaimana kerja kerasnya untuk segera mendapatkan pekerjaan. Dan akhirnya beberapa minggu lalu Khala memberiku kabar gembira, dia mendapat tawaran pekerjaan di sebuah kedai makanan jepang di Ibu Kota Provinsi, ribuan kilo meter dari desa tempat kami tinggal. Tetapi aku cukup mengenal kota itu karena pernah beberapa tahun tinggal di sana. Senang rasanya mendengar kabar itu, tapi yang Khala tidak tahu, ada sedih yang menyelinap dibenakku. Aku yang terbiasa setiap hari ada Khala harus siap kehilangan beberapa moment dengannya, apalagi setelah Khala mengatakan bahwa dia akan segera pergi dalam waktu dekat, hanya saja belum pasti hari tepatnya. 

Beberapa menit berlalu, telepon genggamku masih belum berdering, tak ada tanda-tanda panggilan masuk dari Khala. Sebenarnya beberapa menit lalu Khala sudah meneleponku sebanyak dua kali, tapi aku tak sempat mengangkatnya karena masih bersiap-siap, maka aku putuskan saja untuk menunggu telepon Khala, kupikir dia masih dalam perjalanan menuju rumahku. Tak lama, hal yang kutunggu sejak tadi akhirnya tiba, telepon genggamku berdering, kulihat nama penelepon terpampang dalam layar handphone-ku. Tertulis jelas nama Khala di sana, senyum simpul kemudian menghiasi wajahku. 

Puna..” Suara Khala terdengar lesu setelah aku ucap, “hallo” sebelumnya.

Ya, sayang?” Tanyaku hati-hati

Aku harus pergi hari ini.” 

Deg.
Seperti ada ribuan benda padat menghujam diriku, ah aku tahu ini berlebihan betul, tapi nyatanya aku memang belum siap jika Khala harus pergi hari ini juga, hari di mana biasa kami bertemu untuk sekedar bertukar cerita setelah satu minggu tanpa pertemuan. Jujur saja aku bingung harus memberi respon apa padanya, karena aku tahu betul, dari suara Khala di ujung sana, dia sendiri sedang kalut dan bingung karena harus pergi secara tiba-tiba, di samping itu, ini adalah kesempatan yang sebenarnya sudah kami tunggu-tunggu sejak lama. 

Aku nggak masalah kalau kamu memang akan pergi hari ini juga, aku senang akhirnya kau mendapat pekerjaan. Tapi semua keputusan kembali lagi padamu, Khala.” Ucapku pada akhirnya.

Tidak, aku tidak ingin menunjukkan kesedihanku padanya atas kabar mendadak ini, aku tidak ingin membuatnya berat hati meninggalkanku hanya karena aku egois, tak ingin dia tinggal.

Aku nggak siap kalau serba mendadak seperti ini, Puna, kau tahu sendiri, kan?” Suaranya meninggi, aku tahu, dia sedang benar-benar kalut.

Kapan lagi? Kamu siapnya kapan?

Ya.. beberapa hari lagi, lah. Orang yang mengajakku bekerja, tiba-tiba datang ke rumah, menjemputku, kemudian tanpa persetujuanku ibu mengiyakan ajakannya, padahal sebelumnya ibu sudah bilang kalau hari ini tidak bisa. Memang ada beberapa hal yang perlu aku persiapkan.”

“Coba kamu bicarakan lagi baik-baik dengan ibumu, katakan bahwa kamu belum siap pergi hari ini, cobalah nego di hari lain.”

“Enggak ada gunanya.”

“Terus kamu mau diem aja, Khal? Enggak mau bikin keputusan apapun?”

“Lagi pula gak akan bener kalau aku maksa pergi. Demi Tuhan, Puna, hatiku gak bener sama sekali, kerja pun gak akan waras kalau begini!”

“Kamu harus bicara baik-baik dengan ibumu, Khal, kalau memang kamu gak siap hari ini ya bilang, dan jelaskan juga kenapa kamu gak siap.”

“Udah, dan gak ada gunanya, kami malah bertengkar, aku sudah malas bicara, Puna.”

“Sayang, ibumu demikian karena dia sayang padamu, dia ingin anaknya mandiri dan sukses, bisa menghasilkan rejeki sendiri, dan hari ini kesempatannya, aku mohon jangan kamu sia-siakan. Enggak segala hal yang dipaksakan itu jelek, kok.”

“Ya sudahlah, iya, aku pergi! Aku kira kamu ada di pihakku, Pun.” Suaranya kembali meninggi.

Sayang, kamu butuh segelas kopi.” Kataku dengan tenang, walau sebenarnya hatiku tak setenang ucapanku, aku hanya tak menyangka dia membentakku demikian. 

Iya.” Jawabnya demikian ketus, kemudian menutup teleponnya sepihak.

Khala. Dia tidak tahu bagaimana perasaanku saat tiba-tiba dia memberi kabar harus pergi hari ini juga, hari biasa kita saling melepas rindu. Dia tidak tahu bagaimana tidak siapnya aku ditinggal untuk waktu yang bahkan entah sampai kapan. Dia tidak pernah mengerti betapa beratnya aku melepas dia, bahkan sejak beberapa minggu lalu, saat pertama dia memberi tahuku bahwa dia mendapat tawaran pekerjaan di kota yang sangat jauh, dia pun tak tahu seberapa deras air mataku saat tahu dia benar-bener harus pergi hari ini. 

Tapi aku tidak mau menjadi penghalang. Silakan melangkah, aku tahu ini berat untuknya, tapi sebagai seorang lelaki kupikir dia perlu ke luar dari rumah. Berjalan lebih jauh dan menyelam lebih dalam, banyak langkah yang harus dia lalui sebagai seorang lelaki yang suatu saat nanti akan menjadi seorang kepala keluarga, untuk itu aku mencoba ikhlas jika dia memang harus pergi hari ini, meski aku tahu, dia sendiri pun tidak mau. Tapi kesempatan emas tidak boleh dilepas begitu saja. 

Beberapa minggu terakhir aku dan dia sering kali bertengkar untuk masalah yang itu-itu saja, tapi sebisa mungkin aku menahan emosiku agar masalah kami tak semakin panjang, aku hanya ingin menciptakan kesan baik sebelum dia pergi. Sayangnya kenyataan berkata lain, dia mendadak harus pergi hari ini. Rencana yang sudah kami susun bersama sebelum dia pergi akhirnya gagal, berantakan. Aku tahu ini salah satu hal yang membuat dia berat untuk pergi, kemudian dia merasa semua orang mendadak tidak memihaknya, termasuk aku. 

Khala. Dia salah jika menilai demikian. Kita semua justru tidak mau Khala menyia-nyiakan kesempatan. Kita semua ingin melihatnya bahagia, ingin melihatnya berhasil. Seandainya dia bertanya padaku tentang kesiapan, jelas aku pun sangat tidak siap, tapi aku tidak mau egois, aku paham ada masa depan yang harus dikejar. 

Khala... semoga kamu selalu baik-baik saja. 

Tak lama, notif BBM-ku berbunyi, kuraih segera handphoneku. Satu pesan masuk dari Khala. 

Khala : Aku depan rumahmu.

Dengan tergesa aku segera menuju keluar rumahku. Saat akhirnya mataku beradu pandang dengannya ku tunjukkan senyum terbaikku berharap dia bisa menjadi lebih tenang. Namun tatapannya kosong, wajahnya pun terlihat begitu tak bersemangat. Tepat ketika aku ada di depannya, dia menghambur ke dalam pelukanku, mungkin pelukan perpisahan. 

“Maaf aku membentakmu, aku hanya kalut. Maafkan aku.”

Aku membalas pelukannya seraya berkata, “Tak masalah.”

“Aku pergi ya.” Katanya seraya melonggarkan pelukannya dan menatapku sendu. 

Sekuat mungkin aku menahan tangisanku, sedikit ku tonggakkan kepalaku ke atas agar air mataku tidak tiba-tiba terjatuh, perih memang. Aku kembali menariknya ke dalam pelukku, menenggelamkan kepalaku pada dadanya yang selalu membuatku merasa aman dan nyaman. Khala mengelus lembut rambutku, “Jangan sedih, aku tadi hanya kalut. Ini semua memang untuk kita kan, untuk masa depan kita.” Aku tak sanggup lagi berkata-kata. Tak berapa lama kala melepaskan pelukannya, kudengar handphonenya berbunyi.

“..............”

“Iya, Khala pulang sekarang.”

Mendengar kalimat terakhirnya aku segera tahu bahwa itu adalah telepon dari ibunya, memintanya untuk segera ke rumah dan bersiap-siap pergi. 

Khala kembali menatapku, ditariknya tubuhku hingga tak ada jarak diantara kami. Tiba-tiba semua menjadi gelap, aku merasakan sesuatu yang lembut menyentuh bibirku, kurasakan sesuatu itu melumat bibirku dengan tenang, dalam beberapa detik aku tersadar. 

Ah, ya, Khala sedang menciumku. Ciuman perpisahan.





Komentar

Postingan populer dari blog ini

Manis Pait Tukang Jarkom

Pernah denger istilah “Jarkom”? Pastilah ya pasti banget. Ini istilah paling fenomenal di kalangan anak SMA khususnya sih Mahasiswa. Gue sendiri pertama denger istilah ini pas jaman-jaman ospek kuliah, banyak benget yang ngomong “kalo ada info apa-apa jarkom ya” awalnya gue bingung sih apaan itu jarkom, tapi setelah gue nyari info ternyata jarkom ini sebenernya kata lain dari istilahnya anak alay “send all” yang lebih kekinian. Gitu. Sadar gak sadar istilah ini seolah menjadi bagian yang penting dalam kehidupan keseharian mahasiswa khususnya. Gue yakin banyak mahasiswa yang hampir tiap harinya keluar istilah ini dari mulut mereka, yaa apalagi mereka para aktivis kampus. Bener gak? Kata orang pinter sih (baca:Google) jarkom itu kependekan dari “jaringan komunikasi” dimana satu orang dalam organisasi harus menyampaikan informasi dengan cara menyebarkannya melalui media elektronik ke semua anggota di organisasi tersebut. Biasanya sih orang humas yang jadi tukang jarkom. Namanya humas k

Naskah Berita, Liputan Objek Wisata Situ Lengkong Panjalu

Sumber gambar: Google Objek wisata Situ Lengkong Panjalu merupakan perpaduan objek wisata alam, budaya dan ziarah yang terdapat di Kabupaten Ciamis, Jawa Barat. Situ Lengkong Panjalu merupakan sebuah danau dengan luas 57,95 hektar dan kedalaman air sekitar 4 sampai 6 meter. Dengan menumpuh jarak 32 km dari Kota Ciamis kita sudah bisa sampai di tempat wisata ini.  Untuk masuk ke tempat wisata ini kita cukup merogoh kocek sebesar Rp. 3000/orang. Di tengah danau Situ Lengkong terdapat pulau yang disebut dengan Nusa Gede yang menjadi tujuan ziarah wisatawan. Nusa Gede pada awalnya merupakan pusat pemerintahan Kerajaan Panjalu dan kini di dalamnya terdapat makam Hariang Kencana yang merupakan anak dari Prabu Sanghyang Borosngora yang merupakan Raja Islam pertama di Kerjaan Panjalu. Masyarakat Panjalu sendiri menyebut Hariang Kencana sebagai Syekh Panjalu. Menurut cerita dari mulut ke mulut masyarakat sekitar bahwa air yang terdapat di danau Situ Panjalu merupakan tetesan ai

[CERPEN] Januari

Januari Oleh: Shela Gumilang Hari itu adalah hari ke empat di bulan Januari saat tanpa sengaja kita dipertemukan kembali di alun-alun kota setelah beberapa bulan tak bersua. Saat itu ku pikir rasaku padamu tak lagi sama seperti dulu, ku kira aku sudah mati rasa padamu, namun nyatanya setelah melihat senyummu itu hari-hariku seperti menjadi rusak dibuatnya. Hanya karena seulas senyum, aku dibuat menggila karenanya. Tapi apa kau tahu bahwa setelahnya juga aku merasa sakit? Sungguh tak ada yang lebih sakit ketika kita harus bertemu kembali namun seolah sebelumnya tak pernah terjadi apa-apa diantara kita. Kau hanya tersenyum kepadaku, lalu aku merasa semakin tak waras karenanya dan kau pergi lagi begitu saja tanpa sepatah kata pun. Aku melihatmu melangkah pergi saat itu, berjalan melewatiku tanpa sedikit pun ingin menatapku lagi sedangkan lidahku kelu tak mampu hanya sekedar untuk memanggil namamu. Hari berganti hari tapi bayangan tentang senyummu pagi itu seolah tak perna