Source |
Tapi
tiba-tiba semua berubah dalam sekejap, aku masih melihat pantulanku dalam
cermin tentu saja, hanya, mengapa dia berubah menjadi lebih cerah, ceria dan
bahagia? Hebatnya lagi dia—pantulanku—berbicara
padaku. Aku mengerjapkan mataku beberapa kali demi memastikan kejadian ganjil
ini.
“Hai.”
Sapanya, penuh senyum dan bersemangat.
Astaga!
Dia benar-benar berbicara padaku.Tubuhku
bergetar hebat, dalam hati aku berteriak, “Kejadian gila apalagi ini?!!” Tuhan
tolong, kali ini aku benar-benar tak bisa mencerna semua hal ini.
Ah tunggu, apa tadi aku bilang?
Tuhan? Aku menyeringai, baiklah, setidaknya aku masih mengingat-Nya sekarang
ini.
Badanku
perlahan mundur menjauhi cermin, menabrak samping tempat tidur yang seketika
membuat aku terduduk lesu di atasnya. Tapi lihat! Lihatlah pantulanku dalam
cermin, dia tetap berdiri sama persis
seperti sebelumnya, tak bergerak mundur sepertiku apalagi sampai jatuh terduduk
di atas tempat tidur dan sama sekali tak terlihat ketakutan sepertiku sekarang.
“Hei
tenanglah kawan, aku tak akan membunuhmu.” Katanya lembut.
“Siapa
kau?” Tanyaku memberanikan diri.
“Aku
adalah kau. Lihatlah, kau terlihat baik-baik saja. Kau bahagia”
Aku
menatapnya sinis, “Berhenti bicara omong kosong.”
“Baiklah,
boleh aku bercerita sedikit padamu?”
Masih
dengan menatapnya sinis, aku menganggukkan kepala.
“Kau
baru saja menyelesaikan membaca buku itu, kan?”
Tangannya
menunjuk sebuah buku bersampul warna hijau dengan gambar pohon linden di atas
meja belajarku yang memang baru saja kuselesaikan membacanya malam kemarin.
Belum sempat aku menjawab pertanyaannya, dia
sudah kembali berbicara, sepertinya dia
sendiri paham bahwa pertanyaannya hanyalah basa-basi.
“Di
dalam buku itu, halaman 196 tertulis, ‘Bahwa
hidup harus menerima... penerimaan yang indah. Bahwa hidup harus mengerti... pengertian yang benar.Bahwa hidup harus memahami... pemahaman
yang tulus. Tak peduli lewat apa
penerimaan, pengertian, dan pemahaman itu datang. Tak masalah meski lewat
kejadian yang sedih dan menyakitkan.’ Dan seperti itu pula hidupmu, kawan.
Kau hanya perlu menerima, mengerti dan memahami, bukan dengan menyiksa,
mengutuk dan menyalahkan diri sendiri.”
Source |
“Sebenarnya
apa yang kau bicarakan? Aku benar-benar tak mengerti, semua ini tak bisa
dimengerti. Melihat pantulanku sendiri di dalam cermin berbicara, ah sungguh,
aku hampir gila. Dan lebih gilanya lagi aku bercakap-cakap dengan pantulanku sendiri!”
“....dengar,
siapapun kau di dalam sana, kau tak tahu siapa aku, tak tahu apa masalahku, tak
tahu apa yang aku rasakan. Aku hampir gila dengan semua keadaan yang terjadi di
sekitarku, dan kau, jangan membuatku semakin gila. Pergi, pergi kau! Enyah dari
hadapanku!!”
Aku
meneriakinya, amat kencang, sayangnya dia masih tak berkutik dan tetap tenang.
“Apa?
Aku tak tahu masalahmu? Kau salah, kawan. Aku tahu semuanya. Bisa jadi aku
lebih banyak tahu daripada dirimu sendiri. Aku tahu, tahu semua penyesalanmu.
Penyesalan yang membawamu pada lubang kehancuran seperti sekarang.”
Aku
merinding mendengar jawabannya. Dia tahu semuanya?
“Untuk
apa kau menyesal? Apakah penyesalanmu itu mengembalikan semuanya? Membuatnya
menjadi lebih baik? Sepertinya kau sendiri paham bahwa sesalmu hanya membuatmu
semakin terpuruk.”
“Lantas
siapa kau? Dan apa maumu? Kau mau mengolok-olokku seperti mereka di luar sana?”
“Tidak
ada yang mengolok-olokmu, kawan. Bukankah kau ingin hidup tenang? Kau hanya
perlu mendengarkan aku sekarang.”
Source |
Aku
menatapnya lekat-lekat. Oh Tuhan, siapa sebenarnya makhluk dalam cermin itu?
Mengapa dia berada dalam pantulanku
di cermin? Mengapa dia tahu tentang penyesalan-penyesalanku?
“Apakah
kau bisa dipercaya?” Tanyaku ragu.
“Tentu
saja, aku bukan orang jahat.” Jawabnya mantap.
“...kawan,
sekarang kau hanya perlu duduk tenang di atas tempat tidurmu itu dan dengarkanlah
aku. Mulai sekarang biar aku yang berbicara, kau hanya perlu mendengarkan.
Percayalah, semuanya akan baik-baik saja.”
Logikaku
sungguh ingin berkata tidak. Bagaimana mungkin? Bagaimana mungkin aku
mendengarkan sesuatu tak jelas di
hadapanku ini, sesuatu yang tak bisa
diterima oleh akal sehatku. Ah tidak, lagipula aku mungkin sudah tak punya akal
sehat.
Baiklah,
pada akhirnya aku kembali mengangguk menuruti perkataannya.
“Apa
kau siap?” Tanyanya.
“Ya..”
“Baiklah...
siapapun dan bagaimanpun keadaan engkau sekarang kawan. Tak peduli apakah kau seorang yang baru saja dikhianati kemudian hancur, apakah kau
seorang yang amat miskin, pengemis jalanan, seorang anak korban
keegoisan orang tua, atau kau seorang yang dirundung pilu penyesalan karena
kesalahanmu sendiri. Bagaimanapun...bagaimanapun engkau sekarang, percayalah,
ini adalah sebuah perjalanan dalam hidupmu. Ini adalah sebuah perjalanan
penting yang akan kau lalui, yang akan menjadi bagian penting kisahmu, yang
siap membawamu pada suatu perubahan yang lebih baik dan lebih dewasa, ya memang
berat, sungguh berat, aku tahu ini amat berdarah-darah bagimu, tapi kau harus
belajar percaya kawan, bahwa di depan sana ada sesuatu yang menunggumu. Sesuatu
yang indah yang tentu saja tak pernah kau bayangkan sebelumnya. Bila kau merasa
kesedihanmu sekarang datang begitu membabi-buta, bukan tidak mungkin kebahagianmu
nanti akan datang bertubi-tubi, tak ada yang tahu kawan.”
“....hidupmu
tak indah jika datar-datar saja, bukankah jalan menuju rumahmu pun
berlubang-lubang, tapi ketika kau sampai rumah tak peduli bagaimanapun
keadaannya, kau selalu merasa bahagia bukan? Begitu pula hidupmu ini.”
Aku
tertunduk lesu, menelan ludah, tak berani menatap wajahnya. Tak terasa
bulir-bulir air mata terjatuh di kedua pipiku yang membuatku refleks menutup wajah dengan kedua tanganku, aku menangis tersedu.
Potongan-potongan kenangan dalam hidupku –yang bahagia dan menyedihkan—datang
silih berganti. Aku melihatnya, melihat saatku bahagia, kemudian berganti
ketika kesedihan datang menghancurkan semuanya dalam sekejap, kemudian kembali
berbahagia, lalu kembali sedih. Terus saja, siklus bahagia-sedih-bahagia-sedih
ternyata memang kerap datang menghampiriku. Aku semakin menangis, menangisi
kebodohanku, menangisi diriku sendiri. Diriku yang selalu merasa tak berguna,
diriku yang selalu merasa tak bisa melakukan apapun, yang selalu menyalahkan
diriku sendiri, yang selalu menyalahkan Tuhan tak pernah mendengar doaku, yang
selalu menuduh orang lain tak mengerti aku.
Aku
menangis, tangisan yang berbeda dari sebelumnya, sebelum aku bertemu dengannya.
“Kawan...”
Kembali dia berbicara.
“....kau
tak perlu merasa terlambat, kau tak perlu merasa jauh tertinggal dari
teman-temanmu. Semua orang punya waktunya masing-masing, tentu saja berbeda,
tak akan selamanya kau selalu beriringan dengan teman-temanmu yang lain, yang
mungkin sudah bahagia lebih dulu. Seharusnya kau bersyukur, Tuhan memberikan
ujian yang begitu dahsyat ini padamu, itu artinya Dia mempercayaimu, percaya
bahwa kau adalah manusia kuat yang mampu melewati semuanya. Engkau beruntung,
kawan. Kau tak perlu merasa iri dengan teman-temanmu yang begitu mudah sukses, mudah meraih mimpinya, mudah mendapat pasangan, dan begitu mudah bahagia. Kau itu manusia pilihan kawan.”
“Kawan..sekarang
lihatlah aku, tatap aku.”
Perlahan
aku mengangkat wajahku memberanikan diri menatapnya.
“Kemarilah.”
Sedikit
demi sedikit aku bangkit dari tempatku duduk, berjalan menghampirinya berdiri tegak di depannya, setegak dirinya,
berhadapan.
“Lihatlah
aku kawan, aku adalah kau di masa depan. Lihat betapa bahagianya kau, betapa
tak ada beban pikiran apapun dalam dirimu ini di masa depan. Kau masih sangat
muda, tak ada gunanya kau bermuram durja setiap saat seperti ini. Pahamilah
bahwa setiap masalah itu ada jalan keluarnya, tapi jalan keluar itu tak akan
pernah kau temukan jika kau hanya terus diam mengurung diri seperti ini.
Keluarlah. Lihat bagaimana sekelilingmu, dan tepat saat itu kau akan paham
bahwa sesungguhnya kau tak sendirian dan kau akan kembali menemukan harapan. Mulai
hari ini aku tegaskan padamu, jadilah dirimu yang baru, yang penuh harapan,
yang tak mudah menyerah, selalu berjuang dan tak lupa selalu berdoa. Mulai hari
ini jangan lagi ada tangisan, tangisan yang menganggapmu bodoh, tangisan yang
menganggapmu tak berguna apa-apa. Tersenyumlah kawanku, tersenyum.”
Tak
terasa seulas senyum datang kembali menghiasi wajahku, begitupun dengan
pantulanku, aku dan dia bergerak
seirama.
Tiba-tiba saja aku melihat pintu kamarku yang terkunci dari dalam terbuka begitu saja, sinar yang amat silau menyeruak masuk ke dalam seluruh kamarku. Silau sekali, yang membuatku seketika menutup mataku.
Sejurus kemudian aku merasakan ada tangan hangat nan lembut menyentuh pipiku. Perlahan-lahan mataku terbuka.
“Sayang
bangun, sudah siang.”
“Ibu?”
Tanyaku saat kesadaranku sudah sepenuhnya kembali.
Aku
memandang sekeliling, cermin itu, tempat tidur ini, hiasan-hiasan dinding yang
tertempel, pakaian kotor yang menumpuk di balik pintu, jelas ini masih di
kamarku. Ibu memandangku bingung seraya bertanya, “Kenapa kau menangis, sayang?
Apakah mimpi buruk lagi?” Ibu khawatir.
Aku
tersenyum mendengar pertanyaan ibu. Tentu saja dia tahu benar beberapa bulan
terakhir ini aku menganggap malam adalah waktu yang paling menakutkan bagiku,
aku tak pernah ingin tidur karena mimpi-mimpi buruk selalu ada dalam setiap
tidurku.
“Ibu,
boleh aku memelukmu?”
Tanpa
ada keraguan ibu membentangkan tangannya, menyambutku, hanya butuh waktu satu
detik untuk menyadari maksudnya, badanku berhambur menyambutnya, memeluk ibuku
erat.
“Ini
mimpi yang sempurna, Bu.” Kataku terisak, dalam pelukannya.
Sosokku dalam cermin itu benar. Selama ini aku hanya sibuk mengurung diri, aku tersiksa dengan masalahku tapi aku tak pernah berusaha mencari jalan keluar. Aku menyalahkan Tuhan, aku selalu mengatakan Dia tak pernah mendengar doaku, aku juga selalu merasa sendiri dan menganggap orang lain tak pernah ada dipihakku, bahkan aku sempat beranggapan bahwa ibuku pun tak pernah memihakku. Sekarang aku sadar, lewat ibuku lah Tuhan menjawab doaku. Ibu yang selalu mendoakanku siang dan malam, ibu yang selalu menjaga dan merawatku saatku berada di titik terendah dalam hidup sekalipun, ibu yang selalu rela melakukan apapun untukku.
Ah, ibu, maafkan anakmu ini. Dan, Tuhan-ku, izinkan aku berterima kasih pada-Mu, aku paham lewat mimpi itulah kau kembali membukakan mataku.
Sosokku dalam cermin itu benar. Selama ini aku hanya sibuk mengurung diri, aku tersiksa dengan masalahku tapi aku tak pernah berusaha mencari jalan keluar. Aku menyalahkan Tuhan, aku selalu mengatakan Dia tak pernah mendengar doaku, aku juga selalu merasa sendiri dan menganggap orang lain tak pernah ada dipihakku, bahkan aku sempat beranggapan bahwa ibuku pun tak pernah memihakku. Sekarang aku sadar, lewat ibuku lah Tuhan menjawab doaku. Ibu yang selalu mendoakanku siang dan malam, ibu yang selalu menjaga dan merawatku saatku berada di titik terendah dalam hidup sekalipun, ibu yang selalu rela melakukan apapun untukku.
Ah, ibu, maafkan anakmu ini. Dan, Tuhan-ku, izinkan aku berterima kasih pada-Mu, aku paham lewat mimpi itulah kau kembali membukakan mataku.
***
“Bahwa hidup harus menerima... penerimaan
yang indah. Bahwa hidup harus mengerti...
pengertian yang benar.Bahwa hidup
harus memahami... pemahaman yang tulus.
Tak peduli lewat apa penerimaan, pengertian, dan pemahaman itu datang. Tak
masalah meski lewat kejadian yang sedih dan menyakitkan. –Dede, dalam buku
Daun yang Jatuh Tak Pernah Membenci Angin—
Komentar
Posting Komentar
Mari berkomentar, mari berkawan! Ketahuilah, komentarmu sangat berarti. Terima kasih :))))