Dalam
hidup ini kita akan dihadapkan pada fase-fase kehidupan yang harus siap untuk
kita jalani. Misalnya ketika kita bersorak-sorai gembira merayakan kelulusan
SMA setelah ujian nasional yang menegangkan, kita harus siap untuk memulai
kembali fase yang baru. Menjadi junior lagi di kampus baru dan menikmati
masa-masa kuliah yang tak seindah FTV. Kemudian pada masa-masa kuliah yang
mulai terasa horor dengan bayang-bayang skripsi, dosen penguji dan sidang yang
mengerikan, kita ingin segara lulus kuliah dan kemudian bekerja. Tak terasa
waktu bergulir begitu cepat, setelah bersusah-payah untuk bisa lulus, akhirnya
kita resmi wisuda. Namun ternyata wisuda bukanlah akhir dari segalanya, justru
setelah prosesi sakral ini kita akan dihadapkan pada fase kehidupan yang lebih
berat dari sekedar menghadapi dosen penguji saat sidang akhir. Yap, tidak lain
tidak bukan adalah kita harus siap dengan status baru sebagai pengangguran atau
agar lebih keren sedikit saya sebut saja jobseeker.
Sejak
dinyatakan lulus Agustus kemarin, sudah dua bulan lamanya saya menjadi seorang jobseeker. Pada masa-masa awal menjadi
seorang jobseeker saya begitu
semangat mencari kerja, sekarang semangatnya agak mengendor sih, jadi butuh
disemangatin kamu, iya kamu. Eaaaaaaaaak.
Selama
dua bulan mencari kerja, tercatat saya sudah mengikuti enam kali job fair. Selain job fair pun saya
mengirimkan lamaran lewat web-web perusahaan dan membuat akun pada situs-situs
lowongan kerja yang ada. Lalu apakah membuahkan hasil? Tentu saja. Pada setiap
kali job fair yang saya ikuti, saya
mengirimkan lamaran pada 5 sampai 10 perusahaan, jadi bisa diperkirakan saya
sudah mengirimkan sekitar 60 lamaran pekerjaan walaupun katanya (saya pernah
baca di salah satu postingan di media sosial yang saya lupa punya siapa)
mengatakan bahwa sebagai seorang fresh
graduate setidaknya kita harus mengirimkan minimal 100 lamaran pekerjaan
pada 100 perusahaan. Yaaaa setidaknya saya sudah mengirimkan lebih dari
setengahnya, bukan? Dari hasil job fair
tersebut saya sudah mendapat panggilan kerja dari 12 perusahaan. Mulai dari
perusahaan swasta, BUMD sampai BUMN. Dari panggilan 12 perusahaan tersebut
tidak saya ambil semuanya, karena berbagai alasan, bisa jadi karena jarak test
yang cukup jauh dari tempat tinggal saya (butuh ongkos yang tidak sedikit) atau
karena waktu test yang bentrok antara perusahaan yang satu dengan yang lainnya,
karena biasanya setiap saya mendapat panggilan test dari satu perusahaan, maka
seolah tak mau kalah perusahaan lainnya pun ikut-ikutan menelepon saya, kan
bikin galau. Saya juga sempat sih galau berhari-hari karena tiga kali di
telepon perusahaan tapi enggak keangkat, padahal sebagai pengangguran saya
jarang lepas dari telepon genggam, tapi giliran ada telepon dari perusahaan
enggak keangkat. Hufff.
Jadi
saya hanya memenuhi panggilan setengahnya saja, dan bagaimana hasilnya? Dari
ke-6 test kerja yang saya ikuti, saya tidak pernah berhasil. Saya selalu gagal
pada tahap psikotest. Selalu.
Hmm...mungkin
di sini juga masalahnya. Setiap saya melamar pekerjaan saya pasti mencari
lowongan yang sesuai dengan jurusan saya, sedangkan dari awal pun saya tidak
pernah merasa cocok dengan jurusan yang saya tekuni, karena cita-cita saya ada
pada jurusan lain. Ya, saya mengakui bahwa saya adalah “mahasiswa salah jurusan
yang akhirnya bisa lulus juga.” Sebenarnya pada jurusan kuliah saya yang
menekuni dunia bisnis, tentu saja saya punya bekal dan ilmu untuk berbisnis
yang baik dan benar, jadi saya tidak perlu repot-repot mencari lowongan
pekerjaan, cukup berbisnis dan menciptakan lowongan pekerjaan. Lebih mudah,
bukan? Sayangnya saya belum diberi rasa tertarik untuk berbisnis terlebih
seperti yang saya bilang tadi, cita-cita saya ada di jurusan lain yang cukup
bersebrangan dengan dunia bisnis, walaupun selama kuliah hampir setiap mata
kuliah mewajibkan untuk berjualan, jadi saya sendiri sudah cukup paham sih
asam-manisnya berjualan. Saya pernah iseng-iseng melamar pada posisi yang tidak
sesuai dengan jurusan saya tetapi sesuai dengan minat saya melalui salah satu
akun lowongan pekerjaan dan hasilnya saya di tolak. Ternyata pernyataan “kualifikasi
Anda tidak sesuai” lebih mematahkan hati dibandingkan pernyataan “kita
temenan aja.” Saya juga pernah iseng-iseng mengikuti test minat dan bakat
di internet. Lalu bagaimana hasilnya? Jelas minat dan bakat saya jauh
bersebrangan dengan bidang yang saya tekuni selama kuliah. Hufff ironis.
Selama
dua bulan hidup sebagai seorang jobseeker
saya pun menyadari beberapa hal. Mencari pekerjaan adalah untuk mendapatkan
pengalaman tapi banyak perusahaan yang membutuhkan orang yang sudah
berpengalaman, duh apa kabar fresh
graduate? Dan ternyata pengangguran di tanah Indonesia ini sangat banyak
sekali wahai Saudaraku! Hal ini terbukti dengan selalu berdesak-desakan selama
saya mengikuti job fair. Mencari pekerjaan juga
tentunya bertujuan untuk mendapatkan uang, tapi untuk mencari pekerjaan itu
sendiri kita butuh uang yang tidak sedikit. Selama mencari kerja pun, saya
tidak tahu sudah menghabiskan berapa rupiah –uang mamah— ya ini memang
masa-masa sulit di mana minta segan gak minta butuh. Nah, terkadang ini nih
yang bikin galau lebih galau daripada dipeluk-peluk iya, dijadiin pacar
kagak. Ketika mau ikut job fair
tapi selalu di Bandung atau ada panggilan kerja tapi jauh di luar kota. Bukan
gak mau ngejar sih, tapi itu semua kan butuh biaya, saya cukup tau dirilah,
bukan berasal dari keluarga berada yang bisa seenaknya pulang-pergi ke luar
kota. Saya memang sudah berkali-kali ikut test di luar kota tapi mengingat
hasilnya yang selalu gagal, kadang saya capek dan ingin menyerah juga, udah
jauh-jauh ke luar kota, ngabisin biaya dan ngerepotin keluarga akhirnya harus
pulang dengan tangan kosong juga. Gak kehitung selama dua bulan ini saya sudah
berapa kali bolak-balik Ciamis-Bandung-Jakarta. Belum lagi mengurus segala
keperluan jobseeker, mencetak CV lah,
lamaran kerja lah, foto kopi ini itu lah, segala macam yang sebenarnya enggak
butuh uang seberapa tapi kalau sering-sering sih nguras domper juga. Ya gitulah
agak sedih sih kalau diceritain mah.
Hal
lain yang menyedihkan dari sekedar masalah keuangan selama mencari kerja adalah
predikat saya sebagai alumni kampus yang terkenal dengan sebutan “ah alumni
sana mah gampang dapat kerja.” Sesuai tagline-nya,
Assuring Your Future. Banyak
alumninya yang sudah bekerja sebelum wisuda, nah hal ini juga nih yang bikin
saya was-was karena sudah dua bulan masih nganggur. Apalagi dengar kabar-kabar
terbaru dari teman-teman yang sudah dapat kerja. Jadilah predikat “gampang
dapat kerja itu” sendiri menjadi sebuah beban bagi saya dan juga teman-teman
saya yang lain yang belum dapat kerja. Apalagi setiap ketemu tetangga sering
banget mereka bilang “Eh Teh Shela ada di rumah terus ya sekarang mah” duh
gimana ya kok ke telinga saya nyampenya “Eh Teh Shela masih belum dapat kerja?”
Hhhhhhh.
Selama
berada di Jakarta kemarin –dalam rangka memenuhi panggilan test kerja yang
lagi-lagi harus gagal—saya bertemu dengan sodara saya dan sempat berbagi
pengalaman soal selalu gagal dalam psikotest dan kemudian dia mengatakan sesuatu
yang sedikit menyentil hati saya, “Mbak juga dulu gitu, gagal mulu psikotest.
Akhirnya milih nikah aja deh.” Duh, gimana ya? Selain belum kepikiran buat
nikah, calonnya sendiri saya ngga ada gitu loh mbak. Ehe.
Sebenarnya
masalah rejeki termasuk dapat pekerjaan itu memang sudah ada yang mengatur kan
ya. Kita sebagai manusia memang tinggal perbanyak usaha dan doa. Hasilnya?
Gimana Tuhan aja, dan setiap kali gagal, mamah selalu bilang “Gak apa-apa,
belum rejekinya.” Ya...memang belum rejeki sih, terus rejekinya saya itu kapan?
Hehehehe.
Hmm..
begitu deh kira-kira curhatan saya sebagai seorang jobseeker selama dua bulan ini. Semoga tulisan saya selanjutnya
adalah tulisan kebahagian karena sudah bukan lagi jobseeker. Begitu pun dengan teman-teman saya yang lain dan seluruh
jobseeker di Indonesia. Hehehe.
Amien!
Aku masih semester 3 dan selalu membayangkan gimana nanti ke depannya mengalami fase seperti yang mbak tulis di atas.
BalasHapusSemangat mbak, semoga cepet dipertemukan dengan kerjaan yang pas.
Amien, makasih ya. Semangat buat kamu juga, perjalanan masih panjang :)
HapusSemangat, jangan dulu nyerah! Masih 2 bulan, saya dulu nganggur sampe 8 bulan lamanya, ikut job fair sana sini, masukin lamaran sana sini, tapi gagal lagi gagal lagi, sempet down juga dan ngerepotin orang banyak tapi alhamdulillah sekarang nemu juga rezekinya.
BalasHapusBaca ceritanya jadi inget, dulu juga saya gagalnya di psikotes lengkap terus , kalau ga disitu pasti di wawancara kepribadian, mungkin saya ga cocok jadi karyawan ^^;
Ya intinya sih proses, harus mau belajar, evaluasi lagi dari setiap kegagalan, belajar lagi. Sama satu lagi, jangan lupa minta sama yg Maha pemberi rezeki. Mungkin ada sikap atau kelakuan kita yg jadi penghambat rezeki kita (maaf jadi ceramah hehee 😂)
Semangaaat, semoga mendapat yang terbaik ya! ^^
Ah teteh, makasih teh semangat dan doanya. Jadi termotovasi lagi nih hehehe :)
Hapus