Akhirnya kakiku kembali
menginjakkan kaki di kota penuh kenangan ini, deruan suara khas kereta api di
Stasiun Bandung seolah menyambut kedatanganku. Bicara soal Bandung memang tak
akan pernah ada habisnya bagiku. Tiga tahun bukanlah waktu yang sedikit untukku
mengenal kota ini dan menciptakan segala bentuk kenangan di dalamnya. Masa-masa
kuliah, masa-masa susah ketika uang bulanan habis, masa-masa berpetualang
dengan teman-teman untuk keliling Bandung, sampai pada masa bahagia dan sakit
hati karena cinta, di Bandung aku banyak mengalami berbagai hal.
Berkunjung kembali ke
kota ini tentu saja memunculkan kembali rasa rinduku pada setiap kenangan yang
terukir. Orang yang paling ingin kutemui saat berkunjung kembali ke kota ini
adalah Bapak Rajab, beliau adalah penjaga rumah kontrakanku selama tiga tahun
kuliah di Bandung, beliau sangat hapal sekali tentang seluk beluk kota yang
terkenal dengan julukan Paris Van Java ini. Aku bahkan sampai hapal bagaimana
awal mula kota Bandung disebut sebagai Kota Kembang dan Paris Van Java yang
sering beliau ceritakan.
Dari Stasiun Bandung
kulangkahkan kakiku menuju kediaman Pak Rajab di daerah Lembang. Kembali lagi
aku menikmati macetnya sepanjang jalan Setibudhi-Lembang, tapi saking rindu
akan semua kenangan di kota ini, terjebak macet seperti ini –yang sudah lama
tak kurasakan—pun aku sangat menikmati.
Satu setengah jam
kemudian aku telah sampai di kediaman Pak Rajab. Selain warna cat rumahnya tak
ada lagi yang berubah dari rumah Pak Rajab, masih dengan rumah klasik minimalis
bergaya Belanda. Dari kejauhan sudah kulihat Pak Rajab sedang serius membaca
buku, beliau ini memang sangat hobi membaca buku, terutama buku sejarah. Usia
yang kian senja tak membuat hobi membacanya luput, oleh karena itulah dia sudah
hapal betul bagaimana sejarah Kota Bandung. Tak sabar segera menyapanya kupercepat
langkahku ke arahnya.
“Assalamualaikum, Pak,”
sapaku.
“Waalaikumsalam,”
jawabnya seraya melepas kacamata yang menggantung di matanya dan lalu menatap
ke arahku. Kulihat Pak Rajab mengerutkan keningnya ketika mata kami bertemu,
mungkin beliau sedang berusaha mengingatku.
“Neng Kinten, Pak,”
kataku seraya tersenyum kepadanya.
Pak Rajab segera
bangkit dari kursi goyangnya dan memelukku.
“Oh Neng Kinten ieu teh, gusti meni tos ageungnya. Sok calik
dieu neng.”
“Mangga, Pak.”
***
Setelah sibuk bertukar
kabar kami berdua pun larut dalam obrolan Pak Rajab mengenai sejarah awal
mulanya Kota Bandung dijuluki sebagai Kota Kembang dan Paris Van Java dengan
ditemani secangkir kopi dan beberapa potong kue surabi buatan istri Pak Rajab. Apa
yang Pak Rajab ceritakan sesungguhnya sudah sangat akrab di telingaku, tapi
entahlah rasanya aku selalu menyukai jika Pak Rajab mulai bercerita tentangnya
kepadaku.
“Sebenarnya banyak
orang salah kaprah Neng tentang kenapa Bandung disebut Kota Kembang,” Pak Rajab
memulai ceritanya dengan nada khas Sundanya yang kental.
“Dulu mah neng Bandung teh desa, udik pisan. Jalan
Braga yang sekarang mah udah kasohor pisan, dulu mah eta teh tempat penculikan kusabab tiiseun pisan di jalan eta teh.”
“Tahun 1896 Bandung dijadikeun lokasi pertemuan Pengurus
Besar Perkumpulan Pengusaha Perkebunan Gula anu
pusatna aya di Surabaya. Nah salah
sahiji panitiana, Tuan Jacob, menerima usulan dari Meneer Schenk agar
menyediakan Noni-Noni Cantik Indo-Belanda. Singkatna
mah eta acara sukses besar gara-gara ada Noni-Noni Cantik Indo-Belanda itu
Neng, dari sanalah muncul istilah yang meluncur dari mulut peserta kongres “De Bloem der Indische Bregsteden” atau Bunganya
Kota Pegunungan di Hindia Belanda, tah
karena orang Sunda mah tidak mau
ribet jadi weh muncul istilah “Kota
Kembang”.
“Jadi sebenernya mah kata “kembang” itu teh berasal dari
pelayanan para Noni-Noni Cantik itu Neng, sedikit negatif memang maknanya, tapi
biar bagaimanapun Bapak mah tetap
cinta Bandung, Neng.”
“Terus lagi Neng, Paris
Van Java juga tidak lepas dari sejarah masa lalu. Dulu, di kawasan Jalan Braga
itu ada banyak sekali toko-toko yang menjual barang-barang yang berasal dari
Perancis, ada juga restoran yang menjual makanan khas Perancis. Jadilah Bandung
dijuluki sebagai Paris Van Java.”
Begitulah sepotong
kenangan tentang Kota Bandung yang seringkali Pak Rajab ceritakan padaku. Sebenernaya
masih banyak sejarah yang berkaitan dengan Bandung yang sering Pak Rajab
ceritakan kepadaku, seperti sejarah Hotel Savoy Homan, Jalan Asia-Afrika, Jalan
Braga dan banyak lagi. Memang aku sendiri pun sudah sangat hapal tentang kisah-kisah
itu. Tapi selalu saja aku rindukan kisah-kisah itu kembali Pak Rajab perdengarkan
di telingaku.
Akhirnya, kini rasa
rinduku pada kota penuh kisah ini kembali terobati. Terima kasih Pak Rajab.
Wah Pak Rajab hebat. Udah jarang lho yang tahu sejarah Bandung.
BalasHapusMakasih sudah ikutan GA saya :)
Itulah gunanya punya hobi baca mbak, hehe.
BalasHapusIya mbak sama sama :)