Siang itu, di bawah
teriknya matahari yang menghiasi Alun-Alun Kota Bandung aku melihatnya untuk
pertama kali. Dia Kirani, gadis cantik yang tak pernah lupa menggantungkan
kamera dileher jenjangnya itu berhasil menarik perhatianku. Lalu entah untuk
alasan apa tiba-tiba detak jantungku seperti tak bekerja dengan normal ketika
aku melihat gadis itu mendekat ke arahku.
“Hai,” seolah tanpa ada
rasa bersalah sudah membuat detak jantungku berdetak berlebihan dia menyapaku.
“Oh, hai,” balasku
gugup.
“Boleh aku duduk di
sini? Spotnya bagus untuk mengambil foto.”
Aku hanya mengangguk
menanggapinya, entahlah hanya itu rasanya yang bisa kulakukan. Sampai akhirnya
dia pun sibuk membidik setiap objek yang ada di depannya dengan kameranya itu
dan dia akan tersenyum puas setiap kali melihat hasil bidikannya. Lalu
senyumnya itu pun berhasil mengalihkan duniaku.
“Kau menyukai
fotografi?” Entah keberanian dari mana tiba-tiba saja mulutku bergerak dan
bertanya padanya.
“Iya, kata
teman-temanku kota Bandung punya nilai seni yang bagus untuk dijadikan sebuah
objek foto.”
“Kau bukan orang
Bandung?” Tanyaku sedikit ragu.
Dia hanya menggelengkan
kepalanya dan kembali sibuk dengan kameranya.
“Aku bisa menjadi tour guide-mu selama kau di sini,” oh
Damar apa yang kau pikirkan. Tolong jangan salahkan aku, salahkan mulutku yang
tak tahu diri ini. Berani-beraninya menawarkan diri menjadi tour guide pada orang yang bahkan tak
saling kenal sama sekali. Gadis itu pun kini menatapku dengan tatapan yang
sulit aku mengerti. Aku sendiri gugup menanti jawabannya mengingat aku dan dia
saja bahkan belum saling memperkenalkan diri. Tapi tiba-tiba senyum merekah di
bibir indahnya.
“Tentu saja boleh,
kenalkan aku Kirani, asli Malang.” Ah lega rasanya mendengar jawabannya.
“Damar, asli Bandung.”
“Eh, selama di Bandung
kamu tinggal di mana?” Tanyaku melanjutkan.
“Di hotel yang di jalan
Asia Afrika.”
“Savoy Homan?”
“Nah itu.”
“Itu merupakan salah
satu hotel bersejarah di Kota Bandung, kau mau dengar sejarahnya?”
Dengan penuh rasa
penasaran dan antusias dalam dirinya, Kirani menganggukan kepalanya. Maka
kuhabiskan hari itu ditemani senja yang menghiasi Alun-Alun Kota Bandung dengan
gadis Malang yang baru kukenal beserta satu sejarah lama tentang Savoy Homan
yang kemudian menciptakan sejarah baru tentang Kirani.
***
Hari ini aku telah
bersama Kirani mengitari kawasan Jalan Asia-Afirka sampai Jalan Braga yang tak
luput pula dari sejarah. Sesekali Kirani tampak serius mengambil setiap objek
yang ada di sekitarnya, namun tak jarang pula dia mendengarkan sedikit demi
sedikit kisah tentang Jalan Asia-Afrika dan Jalan Braga yang jaraknya memang
cukup berdekatan.
Setelah puas dengan
jalan bersejarah di Kota Bandung itu, aku mengajak Kirani menaiki vespa bututku
untuk sekedar berkeliling di kawasan Kota Bandung, tentu saja Kirani yang sejak
awal ini memang tertarik dengan Kota Bandung bersemangat menerima tawaranku
untuk berkeliling kota.
Pertama kuajak Kirani
menikmati suasana sejuk disekitar Balai Kota Bandung yang terletak di Jalan
Wastu Kencana, di sini aku tak banyak berbicara dengannya, Kirani sibuk dengan
kamera dan dunianya sendiri. Aku cukup memerhatikannya dari jauh, menikmati
setiap lekuk senyumannya yang entah kenapa selalu saja membuatku lupa segala
hal. Setelah puas dengan kesejukan Balkot, Kirani mengajakku ke tempat lain
lagi.
Kini aku dan Kirani tengah
menikmati semangkuk hangat Cuanki –Jajanan khas Bandung berupa baso yang di
campur dengan mie kuah dan batagor di dalamnya—di kawasan Taman Vanda.
“Sekilas mirip Baso
Malang ya,” Kirani mulai membuka suara.
“Iya, mungkin ini kw
nya baso Malang hahaha,” jawabku asal.
“Tapi kenapa namanya
Baso Cuanki, Mar?”
“Cuanki itu singkatan
dari cari uang jalan kaki, karena kebanyakan penjual cuanki di Kota Bandung ini
memang tidak punya toko tetap. Mereka biasa berjualan berkeliling, Ran.”
“Hmm..cukup masuk
akal.”
Tak terasa hari
menjelang sore, aku bermaksud mengantarkan Kirani untuk pulang ke hotel tapi
ternyata Kirani ingin menikmati sunset
di Kota Bandung dan dia bertanya padaku tempat yang cocok untuk melihat sunset di Kota Bandung. Sebenarnya aku
sedikit bingung mencari tempat untuk melihat sunset di Bandung, jelas saja tak ada pantai di Bandung.
Aku menggaruk bagian belakang
kepalaku yang tak gatal, mencoba berpikir secepat mungkin. Ah ya! Aku punya
ide, ada satu tempat yang sepertinya cocok untuk dijadikan objek fotonya
Kirani, segera kuajak Kirani menaiki vespaku yang kemudian melesat melawan
dinginnya suasana sore di Bandung.
Di sinilah aku dan
Kirani sekarang, awalnya aku memang tak yakin Kirani akan suka tapi dilihat
dari raut muka bahagia Kirani saat ini aku rasa aku tak salah membawanya ke
sini. Flyover Pasopati. Dari sini
keindahan Kota Bandung memang terpampang nyata. Pemandangan bukit dan gunung
yang mengililingi kota Bandung serta lampu-lampu yang menyala dari bawah
jembatan terlihat begitu memabukan setiap mata yang memandang. Di sebelah utara
Gunung Tangkuban Perahu berdiri dengan begitu gagahnya. Maka kuhabiskan hari
terakhirku bersama Kirani dengan menikmati matahari yang sedang berpamitan di
atas Flyover Pasopati.
***
Hiruk pikuk orang yang
berlalu lalang, para pedagang asongan yang sibuk menawarkan berbagai macam
produk yang mereka jual, bunyi klakson berbagai kendaraan di sana-sini serta
merta mewarnai ramainya suasana di Stasion Bandung pagi ini, dan di sinilah
aku, duduk berdua bersama Kirani di salah satu deretan kursi tunggu penumpang
stasion menunggu kereta menuju kota Malang datang menjemput.
Entah kenapa seperti
ada sesuatu dalam diriku yang meminta untuk
menahan Kirani tetap di sini, di Bandung. Ada rasa sedih yang tak bisa
kujelaskan mengingat hari ini Kirani harus kembali ke Malang. Kurang lebih tiga
hari menghabiskan waktu dengan Kirani berkeliling Bandung membuatku tak ingin
berpisah dengannya.
Suara seorang wanita
dari speaker di sekitar stasion
memecah keheningan antara aku dan Kirani. Wanita itu berkata bahwa kereta
menuju Malang sudah tiba dan meminta penumpang tujuan Malang untuk segera naik.
Kirani memandangku dan kulihat ada kesedihan di sorot matanya. Aku dan Kirani
segera berdiri.
“Terima kasih Damar
untuk tiga harinya. Kuharap suatu saat nanti kita bisa dipertemukan kembali dan
memulai satu kisah lagi, bukan sekedar turis dan tour guide-nya.”
Aku hanya tersenyum dan
mengangguk menanggapi kata-katanya barusan, rasanya tenggorokanku seperti
tercekat bahkan untuk sekedar mengatakan selamat tinggal pada Kirani. Bahkan
untuk mencerna maksud perkataan Kirani tadi rasanya otakku pun tak mau bekerja.
Kirani pun bergegas pergi, meninggalkan Kota Bandung dan sejuta kenangan di
dalamnya.
Aku kembali duduk di
kursi tunggu penumpang, ragaku masih enggan meninggalkan stasion tempat di mana
aku harus berpisah dengan Kirani. Kupasang headset
di telingaku, lagu berjudul Bandung yang dibawakan oleh satu band indie bernama
Mocca mengalun lembut dan membawaku kembali pada satu kisah tentang kota ini
yang akan selalu terkenang dalam hatiku.
“Sampai jumpa lagi
Kirani, semoga kita dipertemukan kembali nanti dan kisah kita bukan sekedar
turis dan tour guide-nya.”
Baru tau bakso cuanki. :)))
BalasHapusBtw, coba endingnya Kirani dijemput orang lain pasti lebih ngena tuh, Shel. :)
Kalo ke bandung jangan lupa beli cuanki, Fir.
HapusOiyaaa? Nanti aku coba edit lagi deh hehe
inspirasinya darimana shel haha
BalasHapusDari seringnya jalan jalan di bandung yang sebenernya ke situ situ aja wkwkwkwk
HapusAnjay so sweet bang, terharu bacanya.
BalasHapusko bang sih? Gue cewek duh -_-
Hapusko bang sih? Gue cewek duh -_-
HapusSo sweeeet, hehehehe.... Makash udah ikut GA saya. :)
BalasHapusHehehe iya mbak makasih dan sama sama juga hahaha
HapusHehehe iya mbak makasih dan sama sama juga hahaha
HapusHehehe iya mbak makasih dan sama sama juga hahaha
HapusHehehe iya mbak makasih dan sama sama juga hahaha
Hapus