Jika
sekarang semua orang sibuk menuliskan surat perkara teror yang sedang melanda
negeriku ini, berbeda denganku, entahlah aku lebih memilih menuliskan surat
untukmu. Kamu yang pernah ada, Lucas.
Dalam
tulisan ini mungkin akan aku ungkapkan semua kata yang ternyata mulutku tak
pernah mampu mengutarakannya, sekuat apapun aku berusaha, tetap lidah ini kelu
setiap kali memandangmu.
Lucas,
ini bukan tentang mengapa kamu pergi, tapi mengapa kamu datang kembali setelah
menghilang begitu saja? Kamu kembali seperti tanpa ada yang salah, lalu
seenaknya menghilang lagi. Permainan macam apalah ini?
Jujur,
ketika kau pergi tanpa bahasa, ada beribu tanya bersemayam dibenakku. Aku tahu,
saat itu memang tak ada apapun antara kita. Tapi bagaimana dengan segala bentuk
kabar yang kerap kali kau beri padaku sebelumnya? Bagaimana dengan semua
sapaanmu dari ujung handphone-mu?
Bagaimana dengan segala pertemuan yang selalu kau tawarkan padaku? Bagaimana
dengan semua lagu yang selalu kau perdengrkan ditelingaku? Bagaimana dengan
malam-malam itu? Sungguh tak adakah artinya bagimu? Sehingga kau pun memilih
untuk menghilang begitu saja.
Kau
menghilang dengan sangat rapi, sedikit-sedikit lama-lama kau benar-benar
menghilang, seperti memang tak pernah terjadi apapun antara aku dan kau, Lucas.
Tapi
di hari itu, genap ketika aku menginjak tahun ke-21 hidupku di semesta ini, kau
kembali. Hari itu bukankah seharusnya aku bahagia? Kau kembali. Tapi aku malah
berharap seharusnya kau tak perlu datang lagi, hari itu aku tak sebahagia
sebagaimana seharusnya seorang bahagia karena orang yang dia harapkan sudah
kembali. Aku hampa.
Apa
mungkin karena kau datang hanya sekedar untuk mengucapkan selamat bertemu hari
lahir dan memberiku sesuatu yang kau sebut itu hadiah ulang tahun? Huh?
Ah
ya, tentang hadiah itu, ada sesuatu yang menggelitik hatiku. Dalam kertas
bergambar rupaku itu, kau menyebut namaku seolah-olah aku ini milikmu. Lalu muncul
lagi segala pertanyaanku padamu tentang kita. Tentang siapa aku bagimu?
Tapi
apalah dayaku, aku tak pernah bisa mengutarakannya, jujur aku tak pernah berani
bertanya. Mungkin aku adalah salah satu perempuan yang menjunjung tinggi rasa
gengsi. Dan lagi-lagi aku membiarkanmu bermain-main dengan hatiku, tapi kini aku
tak lagi menikmatinya, aku memilih menghilang. Seperti yang aku katakan
sebelumnya, perasaanku sepertinya tak sama lagi. Aku memvonis hatiku sendiri
seolah aku sudah berhenti padamu. Benar memang, tanpa kabar darimu saat itu
membuatku menjadi terbiasa.
Tapi
nampaknya, aku tak benar-benar berhenti pada dirimu. Saat itu, saat tanpa
sengaja kita kembali dipertemukan dan kau membalas senyumku –mengapa pula aku
harus tersenyum padamu—seperti rusak sudahlah semua usahaku melupa tentang
kamu. Kau tahu Lucas, sejak hari itu justru aku yang malah kerepotan, sulit
sekali melupakannmu. Kau tahu? Sejak hari itu, semakin aku berusaha lupa tentang
kau semakin teringat segala kenangan sesaat antara kita. Bahkan aku sampai
repot-repot berbunga tidur tentangmu. Ini merepotkanku Lucas.
Kau
tahu apa yang lebih menyakitkan saat kita bertemu lagi pagi itu? Kita seperti
mengingkari tentang apa yang pernah terjadi antara kita sebelumnya, kita seolah
lupa bahwa sebelumnya mungkin pernah ada percikan rasa antara kita walaupun itu
hanya setitik. Dan lebih menyakitkan jika ternyata sesungguhnya kau telah
bahagia dengan orang lain? Ah ya, sampaikan saja salamku untuknya, Lucas.
Aku
sepertinya masih mengharap satu yang pasti tentang kita Lucas, tolonglah, aku
hanya ingin antara kita selesai dengan benar-benar selesai tanpa banyak
meninggalkan tanda tanya. Bukankah apa yang sudah kita mulai harus kita akhiri
pula dengan sebaik-baiknya?
Bandung,
19 Januari 2016
--Dari
aku yang sedang melupakanmu, sekali lagi--
Pernah juga merasakan seperti ini mbak, tapi akhirnya tersadar, bahwa hidup kita nggak boleh berhenti disini-sini saja. Kita yang menulis jalan cerita kita sendiri, dan percayalah seseorang di luar sana bakal jadi cerita yang lebih hebat buat mbak, siap-siap aja...
BalasHapusDuh,,ikutan baper jadinya
BalasHapusDuh,,ikutan baper jadinya
BalasHapus