Langsung ke konten utama

[CERPEN] Siluet di Legon Pari



Siluet di Legon Pari
Oleh: Shela Gumilang

Gemuruh ombak di Pantai Legon Pari memang selalu berhasil membuatku jatuh cinta, pasirnya yang putih nan lembut seakan memaksa untuk menelanjangi kakiku, tumpukkan karang yang tetap kokoh walau kerap kali diterjang ombak besar selalu menarik perhatianku. Andai aku bisa menjadi karang di Legon Pari, andai aku bisa menjadi sekokoh mereka mungkin kerapuhan hati ini tak akan menjadi masalah besar untukku. Ah, tapi rasanya aku terlalu munafik jika harus mengatakkan bahwa aku masih baik-baik saja sekarang.
Sama seperti dulu, pantai yang berada di balik bukit di ujung Banten ini masih tetap sepi dan tenang, tapi sepi yang kurasakan kali ini berbeda. Kini aku hanya berjalan ditemani gemuruh ombak beserta buih-buih air laut yang sesekali terciprat ke arahku, bersama semilir angin khas pantai yang menemaniku menyusuri tepian Pantai Legon Pari.

Gradasi kemerahan di atas awan Legon Pari pun kini seolah mempertegas keindahan pantai yang kian memabukkan penglihatanku. Ah, senja di Legon Pari memang selalu memabukkan. Dari kejauhan aku bisa melihat dengan jelas siluet dua orang anak manusia yang sedang dimabuk cinta, berjalan beriringan seolah tanpa beban, merangkul satu sama lain, berkejaran mesra sambil bermain air, lelakinya kerap kali mendekat sambil sesekali mengacak-acak rambut wanitanya manja membuat si wanita merasa jadi orang paling bahagia di seantero dunia. Kemudian mereka duduk berdua di atas karang di tepi pantai, menikmati pesona sunset di Legon Pari yang memabukkan mata.
***
Desember 2013.....
Aku hampir saja histeris saat mendengar ajakan Fajar untuk merayakan tahun baru bersama di tepi pantai, akhirnya setelah hampir dua tahun kami menjalin hubungan, bisa berlibur bersama juga. Fajar tahu betul akan kecintaanku pada pantai. Bagiku pantai adalah tempat paling tenang yang selalu menjadi tempat favorit. Deburan ombaknya, kelembutan pasirnya, sengatan panasnya yang seolah-olah menciumku dari kejauhan dan yang paling penting damainya pantai ketika senja.
Hanya saja memang sedikit sulit untuk meminta waktu luang Fajar seorang CEO di perusahaan bisnis ternama itu. Setiap weekend atau libur panjang lainnya Fajar hanya akan memintaku menemaninya menghabiskan waktu menikmati kopi bersama hingga larut di cafe atau hanya sekedar bercengkrama di balkon apartemennya, coba bayangkan betapa membosankannya kegiatan minum kopi bersama itu. Aku paham betul, Fajar memang penggila kopi tingkat atas sehingga baginya menghabiskan berpuluh-puluh gelas kopi sambil bersantai seharian adalah hal yang menyenangkan, tapi apa salahnya sesekali pergi berdua, melihat dunia di luar sana.

“Sepertinya kamu bahagia sekali, Senja?” kata Fajar sambil tersenyum ke arahku.
“Tentu saja, akhirnya aku bisa pergi berlibur denganmu, kau tahu itu impianku sejak dulu.”
“Ya, aku akan membantu membuat mimpimu itu berubah jadi nyata,” ucapnya yang sejurus kemudian segera meneguk kopinya pelan. Walaupun terkadang aku bosan menemaninya minum kopi seperti sekarang ini, harus kuakui caranya meneguk kopi itu selalu menjadi pemandangan terindah bagiku. Entahlah, hanya saja aku merasa ada aura berbeda yang dipancarkan olehnya ketika mulutnya beradu lembut dengan cangkir berisi kopi itu.
“Kita pergi dua hari lagi, siapkan dirimu sayang,” kata Fajar lembut.
Selanjutnya kami kembali larut bersama malam yang kian pekat namun tetap indah karena Fajar ada bersamaku, lelaki yang selama dua tahun ini selalu ada menemani setiap malam pekatku dan mengubahnya menjadi lebih terang hingga ke sudut hati.
***
Dua hari pun berlalu, kini aku tengah berjalan beriringan dengan Fajar menuju pantai Legon Pari yang berada di balik bukit di mana aku memijakkan kaki sekarang. Sebelumnya aku tak menyangka jika track menuju pantai di ujung Banten ini begitu curam dan jaraknya dari penginapan sangat jauh karena pantai ini berada di balik bukit, sehingga untuk sampai ke pantai kita harus menyewa ojek atau berjalan kaki sejauh dua kilometer. Kakiku yang jenjang dan mulus terpaksa harus berjalan naik-turun bukit dengan jalan setapak yang berbatu dan pepohonan lebat di kanan kiriku. Aku sempat merengek manja pada Fajar dan memintanya untuk naik ojek saja tapi Fajar membantahnya, dia bilang dengan berjalan kaki kita bisa lebih menikmati perjalanan dan dia berkata bahwa aku pasti akan mencintai pemandangan di atas bukit nanti. Selain itu ada beberapa jembatan gantung yang harus kami lewati sebelum sampai ke tepi pantai, bagiku memang sedikit mengerikan karena saat kami melewatinya maka jembatan itu akan bergoyang-goyang seolah tak kuat menahan beban tubuhku dan Fajar, tentu saja aku tak mau mati konyol jatuh dari jembatan saat berlibur bersama Fajar. Hampir satu jam berlalu belum ada tanda-tanda kita sudah sampai di puncak bukit apalagi mendengar gemuruh ombak pun rasanya masih terlalu jauh.
“Senja, ayo dong semangat sebentar lagi kita sampai di puncak bukit dan pantai semakin dekat,” teriak Fajar yang kini sudah berjalan cukup jauh di depanku. Aku hanya mengangguk kecil menanggapinya, aku pun segera mempercepat langkahku agar bisa menyusul Fajar.
“Nah lihat sayang, sekarang kita sudah berada di puncak bukit,” ucap Fajar dengan begitu semangat.
“Cantik bukan pemandangan di sini?” katanya melanjutkan.
Dan aku akhirnya takjub dengan pemandangan yang aku lihat sekarang. Pematang sawah nan hijau terhampar luas memabukkan penglihatanku, langit cerah berawan dengan matahari yang tampak malu-malu menampakkan wujudnya, dan dari kejauhan aku bisa melihat pantai dari atas bukit dengan pasir putihnya yang seolah telah melambaikan tangan padaku untuk segera menyentuhnya.  
“Bagaimana?” tanya Fajar sambil merangkulkan tangannya ke pundakku.
“Aku yakin ini pemandangan terindah yang pernah aku lihat,” setelah melihatmu meneguk kopimu pelan tentunya. Kataku melanjutkan, dalam hati.
“Padahal kita baru sampai puncak bukit, dan sebentar lagi kita akan turun menuju pantai. Jadi siapkan matamu untuk tidak berkedip melihat pesona Pantai Legon Pari.”
“Terima kasih Fajar,” kataku sambil mencuri kecupan di pipi kanannya lalu segera berlari kecil mendahuluinya.
Pantai semakin dekat dan aku semakin cepat berjalan, rasanya aku sudah tak bisa menahan diri untuk memanjakan kakiku yang sudah lelah ini di atas pasir dan memainkannya di air laut. Tak lama gemuruh ombak semakin terdengar dekat, aku kian mempercepat langkahku dan di balik pepohonan rimbun itu pantai terlihat semakin nyata.
“Ah pantaaaaiii, lauuutttt,” aku berteriak tanpa ragu menunjukkan kebahagianku setelah bersusah payah naik-turun bukit. Lautan biru yang seolah bersatu dengan langit, karang-karang tinggi yang berdiri di kanan kiri pantai seolah menegaskan kekokohan mereka, buih-buih lembut air laut seolah menjadi mutiara yang bermunculan dari laut, semilir angin yang menyejukkan serta suasana yang sunyi cocok untuk orang-orang yang kerap kali berteman kesibukan seperti aku dan Fajar. Aku menoleh ke arah Fajar yang masih berjalan di belakangku sambil berbicara padanya.
“Fajar kau benar, rasanya aku tak mau berkedip barang sedikit pun karena takut pemandangan ini akan hilang seketika,” ucapku, kemudian mengedipkan mata manja ke arahnya. Fajar berlari ke arahku kemudian menggenggam tanganku seraya berkata.
“Jika ada orang yang bertanya padaku kelebihan apa yang ingin aku miliki, maka aku akan menjawab: aku ingin menghentikan waktu,” Fajar menarik napas panjang sejenak sebelum akhirnya melanjutkan kalimatnya.
“Seperti saat-saat denganmu sekarang. Menggenggam tangan lembutmu, menikmati detik demi detik berdua. Bersamamu bagiku selalu menyenangkan, membahagiakan dan menenangkan, karenanya keinginanku untuk menghentikan waktu saat bersamamu semakin kuat,” Fajar semakin menggenggam tanganku erat seolah menegaskan bahwa kini dia memang hanya ingin bersamaku demikian pula denganku, masing-masing dari kami tak ada yang mau kehilangan.
Lembayung kini mulai terlukis indah di ufuk barat Legon Pari. Anggunnya warna senja seolah menyapa lembut menjatuhkan pesonanya pada setiap kelopak mata yang memandang ke arahnya. Aku dan Fajar berlarian kecil di tepi pantai di bawah indahnya langit senja, sesekali kami bermain air bersama, saling mengejar satu sama lain. Tak jarang Fajar selalu tiba-tiba mendekat merangkul erat tubuhku dan mengacak-acak rambutku manja.
Dan di sinilah aku sekarang, duduk berdua dengan Fajar di sampingku di atas tumpukkan karang yang berada di tepian pantai, menikmati pesona sunset di Legon Pari. Aku merebahkan kepalaku di pundaknya, menutup mata perlahan seraya berharap aku pun bisa menghentikan waktu seperti yang Fajar inginkan.
“Aku juga ingin bisa menghentikkan waktu sepertimu. Duduk berdua menikmati sunset seperti saat ini, merangkai buih-buih mimpi dan menggapainya bersama. Menciptakan kenangan-kenangan indah yang dapat aku tuliskan menjadi sebuah cerita, sebuah sejarah tentang cinta, aku dan kamu.”
Fajar merengkuh tubuhku ke dalam tubuhnya, mendekap tubuhku dalam kuasanya, aku hampir sesak dibuatnya. Tapi aku tak mau munafik, aku menikmati berada dalam peluknya, hangatnya membuatku tak ingin beranjak dan memohon agar sang waktu berhenti sekarang juga. Sedetik kemudian mata kami bertemu pandang, jarak wajah kami seolah mendekat dengan sendirinya, deru nafas kami seolah berlomba, aku menutup mataku perlahan hingga akhirnya tak ada lagi jarak antara aku dan dia. Aku merasakan ada kelembutan asing yang menyentuh sudut bibirku. Aku menikmati sensasi yang memberiku gelenyar aneh itu dan Fajar semakin erat memelukku lalu aku semakin hanyut di dalamnya.
***
Setelah dua hari menghabiskan waktu bersama di Legon Pari aku dan Fajar pun memutuskan untuk kembali ke Jakarta. Jalanan yang kami tempuh cukup curam, berkali-kali melewati tikungan tajam dan jalanan yang naik-turun, sisi kanan dan kiri kami terdapat jurang-jurang yang cukup dalam, belum lagi jalanan yang tidak begitu mulus dan banyak lubang di sisi kiri kanannya. Ketika kami melewati turunan yang cukup curam, aku melihat Fajar sedikit panik sambil terus berusaha menginjak rem mobilnya.
“Kenapa Jar?” tanyaku sedikit kebingungan.
“Ah tidak..tidak, kau tak perlu khawatir,” Fajar berkata sedikit panik dan bagaimana mungkin aku tidak khawatir. Sedetik kemudian aku merasa dibawa melayang oleh mobil yang kami tumpangi, di atas turunan curam ini mobil yang kami tumpangi seolah terjun bebas hingga pada akhirnya aku menyadari satu hal. Remnya blong. Aku panik, begitu juga Fajar meskipun dia berusaha menyembunyikannya.
“Senja, aku mencintaimu. Bahkan jika nanti ragaku tak dapat kau lihat lagi kau tak perlu risau, aku tetap mencintaimu dalam keabadian,” Aku tak dapat mencerna kata-kata yang baru saja Fajar ucapkan padaku, pikiranku saat ini terlalu kacau balau melihat pohon besar dihadapan kami yang seolah ingin memangsa kami. Fajar berusaha membanting stirnya ke arah kiri yang tanpa kami sadari bahwa di sebelah kiri kami terdapat jurang yang cukup dalam sehingga tanpa bisa dihindari lagi mobil kami pun terperosok ke dalamnya. Dunia seketika seperti berputar-putar dengan jelas dalam penglihatanku sampai akhirnya mobil mendarat di dasar jurang dengan posisi terbalik, aku hanya bisa berteriak minta tolong semampuku saat tiba-tiba aku melihat Fajar terlempar dari dalam mobil menembus bagian depan kaca mobil dan setelahnya yang ku lihat adalah hitam pekat. Begitu gelap.
***
Aku membuka mataku perlahan, mencoba sedikit demi sedikit mengumpulkan kesadaranku. Suasana serba putih menghiasi pemandangan mataku, aroma obat bius seolah menyeruak di mana-mana. Suasana yang kurasakan sekarang ini membuatku menyadari bahwa sekarang aku sedang berada di rumah sakit. Saat berusaha bangkit dari posisi tidurku, tiba-tiba kepalaku berdenyut amat sakit. Aku pun menyentuh pelan kepalaku dan ada ikatan perban di atasnya. Di sebelah ranjangku, aku melihat ibuku yang sedang memejamkan mata di atas sofa yang tersedia di sana, aku memanggilnya pelan namun cukup terdengar olehnya, kurasa ibuku tidak sedang benar-benar tertidur.
“Ibu,” kataku lirih. Seketika ibu langsung terbangun dari tidurnya dan segera mendekat ke arahku.
“Senja sayang, anakku, kau sudah sadar nak?” tanyanya sambil memegangi tangan dan pipiku.
Pikiranku kembali teringat pada peristiwa sebelum akhirnya aku tergolek lemas di atas ranjang rumah sakit ini. Fajar, ya Fajar, aku harus tahu keadaannya.
“Fajar,” kataku lemah. Namun ibu malah menangis sambil memelukku erat, aku yang baru saja sadar menjadi semakin linglung.
“Aku mau ketemu Fajar, bu,” kataku menegaskan. Aku berusaha bangkit dari posisi tidurku dan perlahan melepaskan pelukan ibu, tak aku pedulikan lagi rasa sakit yang menyerang kepalaku tiba-tiba.
“Kenapa bu? Kenapa ibu malah menangis? Bu, aku mohon pertemukan aku dengan Fajar, bu,” kataku memaksa.
“Baik sayang, jika nanti kau sudah pulih ibu akan membawamu ke rumah Fajar, kau bisa bertemu dan bercengkrama dengannya sepuas yang kau mau. Sekarang kau dengarkan ibumu baik-baik ya,” Aku bingung dengan kalimat yang baru saja ibuku lontarkan, namun biarpun demikian aku tetap mengangguk menuruti perkataannya.
“Sayang,” kata ibu dengan suara yang tiba-tiba menjadi parau, beliau semakin erat memegang kedua tanganku dan perasaanku menjadi semakin tak karuan.
“Kini Fajar sudah tenang di rumah barunya, dia sudah meninggal, sayang,” kata ibuku dengan suara yang gemetar dan air mata kini membanjiri kedua pipinya. Butuh waktu beberapa detik bagiku untuk mencerna kalimat yang baru saja ibu lontarkan padaku. Tiba-tiba aku merasakan lagi sakit. Bukan, bukan hanya kepalaku yang terasa berdenyut linu, kini aku merasakan linu yang teramat sangat dihatiku. Rasanya seperti ada bongkahan batu besar yang menghantam hatiku lalu membuatnya hancur berkeping-keping. Rasanya baru kemarin aku merasakan romantisme di bawah langit senja Legon Pari bersama Fajar lalu sekarang aku mendapat kabar bahwa Fajar telah tiada, pergi bersama keabadian. Tubuhku bergetar hebat, air mata tak dapat lagi kutahan. Langitku terasa menjadi gelap berkelabu, pelangiku dengan sejuta warna pun seolah hanya tinggal hitam dan putih meninggalkan kelam yang lekat. Aku tak bisa begitu saja percaya bahwa kini Fajar telah pergi meninggalkanku bahkan tanpa ucapan selamat tinggal sama sekali. Ibuku bercerita bahwa aku dan Fajar ditemukan oleh warga sekitar dan Fajar ditemukan meninggal di tempat.  Aku kemudian teringat kata-kata terakhir Fajar sebelum dia terlempar dari dalam mobil dan akhirnya pergi meninggalkanku untuk selamanya.
“Senja, aku mencintaimu. Bahkan jika nanti ragaku tak dapat kau lihat lagi kau tak perlu risau, aku tetap mencintaimu dalam keabadian.”
Aku menangis hebat mengingatnya, ibu memelukku erat, aku menangis sejadi-jadinya dalam dekapan hangat ibuku. Aku berharap ini hanya mimpi buruk dan kumohon pada siapapun dapat segera membangunkanku. Tapi sayangnya ini adalah kenyataan, kenyataan terburuk yang harus kuhadapi. Selamat tinggal Fajar-ku, sayang. Aku juga mencintaimu dan akan selalu seperti itu.
***
Desember 2014....
Tepat satu tahun berlalu setelah kepergianmu, kini aku berada di tempat yang sama seperti waktu itu dan dengan suasana yang sama pula, namun kini aku hanya sendirian di bawah langit senja Legon Pari. Di karang besar tepi pantai itu aku seolah melihat siluet kita dulu. Mengenangmu memang menyakitkan tapi itu adalah candu bagiku karena kamu memang tetap hidup dihati ini.
Kau tahu Fajar? Aku merasa kamu selalu ada berjalan berdampingan denganku, bahkan sampai detik ini. Bagiku sekarang kita layaknya laut dan pasir. Terlihat berdekatan dan berdampingan namun tak bisa benar-benar bersatu seolah ada garis yang memisahkan.
Fajar, senjaku tak lagi secantik dulu dan fajarku pun tak lagi seelok dulu. Tak ada lagi gradasi indah di langitku seperti dulu, semua yang terlihat bagiku adalah semu. Fajar, malamku tak lagi terang, tidurku pun tak lagi lelap saat kenyataannya tak akan ada kamu yang mendaratkan kecupan selamat malam dikeningku. Fajar, kumohon tetaplah menjadi siluet yang indah di sana agar aku tetap bisa mengenangmu dalam keabadian hati ini.

Komentar

  1. Wahh. ..Cerita yang panjang. Aku kira bakalan happy ending.
    Tapi keren, apalagi waktu bagian menikmati pesona sunset. Kelihatan menghayati banget. :P Okee skip.

    Btw, ceritanya full fiksi nih??

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iyaaa makasih.

      Ini full fiksi, proses buatnya juga lama banget soalnya baru pertama bikin cerita yg full fiksi gini biasanya full curhat wkwkwk

      Hapus
    2. Haha. ..tapi kalo boleh ngasih saran nih, mending dikasih selipan-selipan gambar gitu, kayak pemandangan pantai Legon Pari kayak gimana, bukit-bukitnya, jembatan goyang, biar ada jeda pembaca untuk beristirahat, lebih bisa ngebayanganin juga. hehe
      O iya, mampir-mapir ya kalo ada waktu. Thankyuu :)
      http://darienol.blogspot.co.id/

      Hapus

Posting Komentar

Mari berkomentar, mari berkawan! Ketahuilah, komentarmu sangat berarti. Terima kasih :))))

Postingan populer dari blog ini

Manis Pait Tukang Jarkom

Pernah denger istilah “Jarkom”? Pastilah ya pasti banget. Ini istilah paling fenomenal di kalangan anak SMA khususnya sih Mahasiswa. Gue sendiri pertama denger istilah ini pas jaman-jaman ospek kuliah, banyak benget yang ngomong “kalo ada info apa-apa jarkom ya” awalnya gue bingung sih apaan itu jarkom, tapi setelah gue nyari info ternyata jarkom ini sebenernya kata lain dari istilahnya anak alay “send all” yang lebih kekinian. Gitu. Sadar gak sadar istilah ini seolah menjadi bagian yang penting dalam kehidupan keseharian mahasiswa khususnya. Gue yakin banyak mahasiswa yang hampir tiap harinya keluar istilah ini dari mulut mereka, yaa apalagi mereka para aktivis kampus. Bener gak? Kata orang pinter sih (baca:Google) jarkom itu kependekan dari “jaringan komunikasi” dimana satu orang dalam organisasi harus menyampaikan informasi dengan cara menyebarkannya melalui media elektronik ke semua anggota di organisasi tersebut. Biasanya sih orang humas yang jadi tukang jarkom. Namanya humas k

Naskah Berita, Liputan Objek Wisata Situ Lengkong Panjalu

Sumber gambar: Google Objek wisata Situ Lengkong Panjalu merupakan perpaduan objek wisata alam, budaya dan ziarah yang terdapat di Kabupaten Ciamis, Jawa Barat. Situ Lengkong Panjalu merupakan sebuah danau dengan luas 57,95 hektar dan kedalaman air sekitar 4 sampai 6 meter. Dengan menumpuh jarak 32 km dari Kota Ciamis kita sudah bisa sampai di tempat wisata ini.  Untuk masuk ke tempat wisata ini kita cukup merogoh kocek sebesar Rp. 3000/orang. Di tengah danau Situ Lengkong terdapat pulau yang disebut dengan Nusa Gede yang menjadi tujuan ziarah wisatawan. Nusa Gede pada awalnya merupakan pusat pemerintahan Kerajaan Panjalu dan kini di dalamnya terdapat makam Hariang Kencana yang merupakan anak dari Prabu Sanghyang Borosngora yang merupakan Raja Islam pertama di Kerjaan Panjalu. Masyarakat Panjalu sendiri menyebut Hariang Kencana sebagai Syekh Panjalu. Menurut cerita dari mulut ke mulut masyarakat sekitar bahwa air yang terdapat di danau Situ Panjalu merupakan tetesan ai

[CERPEN] Januari

Januari Oleh: Shela Gumilang Hari itu adalah hari ke empat di bulan Januari saat tanpa sengaja kita dipertemukan kembali di alun-alun kota setelah beberapa bulan tak bersua. Saat itu ku pikir rasaku padamu tak lagi sama seperti dulu, ku kira aku sudah mati rasa padamu, namun nyatanya setelah melihat senyummu itu hari-hariku seperti menjadi rusak dibuatnya. Hanya karena seulas senyum, aku dibuat menggila karenanya. Tapi apa kau tahu bahwa setelahnya juga aku merasa sakit? Sungguh tak ada yang lebih sakit ketika kita harus bertemu kembali namun seolah sebelumnya tak pernah terjadi apa-apa diantara kita. Kau hanya tersenyum kepadaku, lalu aku merasa semakin tak waras karenanya dan kau pergi lagi begitu saja tanpa sepatah kata pun. Aku melihatmu melangkah pergi saat itu, berjalan melewatiku tanpa sedikit pun ingin menatapku lagi sedangkan lidahku kelu tak mampu hanya sekedar untuk memanggil namamu. Hari berganti hari tapi bayangan tentang senyummu pagi itu seolah tak perna