Oleh: Shela Novianti Gumilang
Bandung tetap syahdu dengan mentari
paginya, dan diam-diam aku mulai mencintainya yang kini banyak memberi cerita.
–Atha-
Atha mematut dirinya dihadapan cermin yang
terpajang di sudut kamarnya, tak pernah disangkanya akan tiba hari ini, hari
dimana ia akan bertemu lagi dengan seseorang yang datang dari masa lalunya.
Percakapan singkat di dunia maya yang tadinya hanya sekedar saling menyapa
berakhir pada sebuah tawaran pertemuan yang bahkan sebelumnya tak pernah
terpikir oleh Atha untuk menerima tawarannya begitu saja. Atha melirik jam di
dinding kamarnya sekilas, sepuluh menit lagi Lukas akan sampai di rumahnya
untuk menjemputnya. Jantungnya sedikit banyak berdetak lebih kencang dari
biasanya, ah tidak bukan perasaan apapun hanya mungkin sedikit canggung dengan
pertemuan untuk pertama kalinya setelah perpisahan terakhir mereka hampir tiga
tahun yang lalu.
Tentu saja ini bukan kali pertama Lukas
mengajaknya untuk bertemu, Atha kerap kali menghindar setiap kali Lukas
memintanya untuk bertemu, entah untuk alasan apa yang sebenarnya Atha pun
bingung dan Lukas selalu menganggap bahwa Atha memang telah benar-benar
membencinya.
Suara klakson motor terdengar dari luar
rumahnya, itu pasti Lukas. Atha menarik napas panjang dan sekali lagi
memastikan penampilannya di cermin sebelum akhirnya keluar dari kamarnya dan
menemui Lukas.
“Hai, Lukas.” Sapanya dengan senyum dan
mata yang berbinar cerah yang sepertinya sudah sangat dirindukan oleh Lukas.
“Kau tampak semakin tinggi.” Katanya
melanjutkan, sambil menatap Lukas dengan sedikit menengadahkan kepalanya.
“Dan kau tetap pendek.” Ledeknya seraya
melepas helm dan headset di telinganya. Ya
Tuhan terima kasih untuk tetap membuatnya cantik dan mengindahkan senyumnya.
Lanjut Lukas, dalam hati tentunya.
Atha hanya tersenyum kecut menanggapi
ledekan mantan kekasihnya itu dan segera naik ke atas motor yang ditumpangi
oleh Lukas. Tanpa menunggu waktu lama, motor Lukas telah melaju menembus
dinginnya malam di Bandung. Hanya deru kendaraan dan sapaan halus angin yang
mengiringi perjalanan mereka. Baik Lukas maupun Atha sama-sama bingung harus
bagaimana memulai lagi percakapan mereka. Secanggung itukah?
“Umm..jadi mau kemana kita?” Tanya Atha
pada akhirnya.
“Aku lapar Tha, ingin makan bubur.”
Atha mengerutkan kening mendengar jawaban
Lukas, pikirannya kembali pada masa tiga tahun lalu. Bubur ayam selalu menjadi
makanan favorit Lukas dimana pun dan kapan pun. Kamu masih sama seperti dulu ya.
“Tenang saja Tha meskipun aku masih suka
makan bubur tapi aku sudah tak bad-boy
lagi seperti dulu kok.” Atha terperanjat mendengar ucapan Lukas seolah-olah
bisa membaca pikirannya.
“Tapi aku sudah makan, Lukas.”
“Tak masalah, temani saja aku makan. Oiya
udah pernah jalan-jalan di sekitar alun-alun Bandung Tha?”
Atha menggelengkan kepalanya, sepertinya
dia belum menyadari bahwa saat itu mereka sedang berbicara di motor sehingga
Lukas membelakanginya dan tak akan melihat Atha menggelengkan kepalanya.
“Tha? Kok diem?”
“Ah iya iya..alun-alun Bandung ya? Boleh
deh.”
Kembali mulut keduanya seolah terkunci
rapat dan disibukan dengan pikiran mereka masing-masing. Kembali deru dari
kendaraan lain yang sama-sama melintas di jalanan Bandung yang menemani
perjalanan mereka. Tak lama, mereka sampai di kawasan Jalan Braga yang
seolah-olah menghidupkan Bandung di malam hari, begitu ramai. Lukas pun segera
memarkirkan motornya di dekat trotoar yang memang pada malam hari kerap kali
dijadikan tempat parkir bagi para muda-mudi yang sekedar ingin melapas malam
mereka di kawasan Jalan Braga. Katanya
mau ke alun-alun? Ah sudahlah, kemana pun yang penting dengan Lukas. Oh,
Atha apa yang sedang kamu pikirkan?
Setelah turun dari motor, Lukas berjalan
sedikit lebih cepat mendahului Atha dan dengan susah payah Atha mengejarnya dan
berjalan beriringan dengan Lukas.
Lukas melirik Atha sekilas seraya berkata
“Kamu masih payah seperti dulu.”
“Dan kamu selalu senang meledekku seperti
dulu.” Lukas tertawa mendengar jawaban Atha. “Tapi kamu tetap menyenangkan
Tha.” Senyum merekah di sudut bibir Atha dengan warna kemarahan yang menghiasi
pipinya. Blushing.
Suasana sekitar Jalan Braga yang terhubung
dengan Jalan Asia-Afrika malam itu memang cukup ramai, banyak sekali
orang-orang yang berkumpul di sana, banyak juga pedagang asongan yang seolah
tak mengenal lelah menawarkan dagangan meraka pada siapa saja yang melintas
dihadapannya. Pengamen-pengamen jalanan sibuk bernyanyi sana-sini tanpa peduli
meski dihiasi suara sumbang yang terkesan mengganggu hanya demi recehan yang
mereka harapkan dapat menyambung hidup mereka. Lukas dan Atha tetap berjalan
beriringan tanpa sepatah kata keluar dari mulut keduanya. Atha terlalu
menikmati suasana ramai Jalan Braga di malam hari yang memang baru pertama kali
dilihatnya dan Lukas memang senang memerhatikan lingkungan yang ada
disekitarnya yang membuat mereka akhirnya sibuk dengan pikiran masing-masing
lagi.
Di sebrang jalan, Lukas melihat sebuah
gerobak bubur ayam yang seolah melambai-lambaikan tangan padanya, Atha segera
memegang ujung kemeja kotak-kotak yang digunakan oleh Lukas saat mereka
menyebrang jalanan yang cukup ramai itu.
Lukas memesan satu mangkuk bubur ayam dan
segelas kopi panas. Perpaduan antara bubur ayam hangat dan kopi panas mungkin
bisa membantu meredakan suasana dingin di Bandung.
“Satu aja? Teteh nya gak mau pesen?” Tanya
pelayan bubur itu ramah. Atha menggeleng pelan, meskipun sedikit tergoda oleh
aroma bubur ayam itu nyatanya perutnya sudah cukup kenyang setelah makan di
rumah sebelumnya.
Lukas sibuk menikmati buburnya, dan Atha
sibuk memandangi satu makhluk ciptaan Tuhan yang dulu sempat membuatnya jatuh
cinta dan patah hati berkali-kali itu.
Matanya bulat dengan alis tebal yang baru
dia sadari sekarang, hidung mancung dan sempat-sempatnya Atha berpikir bisa
bermain perosotan di sana, serta bibir tipisnya yang selalu memabukan. Getaran
yang dulu sempat ada di hatinya jika sedang bersama Lukas sedikit demi sedikit
seperti kembali muncul ke permukaan, Atha ingin menahannya dia tahu ini salah,
dia baru saja patah hati dan tiba-tiba Lukas datang kembali, ah tidak Atha tak
mau menjadikannya pelarian walaupun dulu pernah sakit hati karenanya. Namun tak
dapat dipungkuri bahwa alasan dia mau bertemu Lukas malam ini memang karena
ingin lupa dengan luka dihatinya kini. Dan getaran itu pasti hanyalah sesaat.
“Kas, aku udah bisa bawa motor sekarang.”
Ucapnya tiba-tiba.
Lukas yang sedang sibuk dengan bubur
ayamnya tiba-tiba menatap Atha heran seraya bertanya “Emang kuat Tha?”
“Ih maksudku, aku bisa mengendarai motor
sekarang.” Jawab Atha sedikit kesal karena ditanggapi tidak serius oleh Lukas.
Lukas tertawa melihat Atha yang kini
tengah cemberut karenanya “Lucu kamu Tha.”
“Kamu seneng banget ya ngetawain dan
ngeledek aku, Kas.”
“Sudah ku bilang kamu selalu menyenangkan
dan membuatku tertawa Tha.”
“Udah ah jangan suka bikin baper deh Kas,
abis ini mau kemana kita?”
“Nonton yuk, Tha?”
***
Dua muda-mudi itu kini telah duduk di
barisan paling depan di gedung bioskop yang hanya ada satu-satunya di kawasan
Jalan Braga itu. Saat mereka hendak memesan tiket untuk menonton salah satu
film animasi yang akan segera tayang itu memang sudah penuh sehingga harus rela
duduk paling depan alias paling bawah dari deretan bangku yang tampak terasering
itu. Lukas tampak menikmati film animasi yang menggunakan tiga bahasa itu
sambil sesekali tertawa riang karena adegan yang lucu, tapi tidak dengan Atha
yang sedari tadi tampak murung, mungkin karena dia yang tidak terlalu suka film
animasi dan lelah setelah berjalan cukup jauh dari gerobak bubur menuju gedung
bioskop yang ada di lantai dua pusat perbelanjaan itu. Lukas melirik Atha yang
lalu menyenggol sikutnya seraya berkata “Ketawa dong Tha jangan bete gitu ah.”
Atha hanya tersenyum kecut menanggapi ucapan Lukas.
Hampir dua jam berlalu sedikit-sedikit
Atha mulai bisa menikmati film yang sekarang hampir selesai diputar itu dan
sesekali meminum cappucino yang dibelinya sebelum masuk gedung bioskop. Tak
lama film pun selesai diputar, mereka segera meninggalkan gedung bioskop dan
kembali berjalan beriringan.
“Kemana sekarang Tha?” Tanya Lukas yang
hampir mengaitkan tangannya di pundak Atha namun dia mengurungkan niatnya
tersebut dan hanya pura-pura menggaruk punggungnya yang sama sekali tak gatal.
Sebelum menjawab pertanyaan Lukas, Atha
melihat jam ditangannya sekilas, 22.40. Lalu dengan mantap menjawab “Pulang
lah.”
Lukas hanya mengangguk ringan mendengar
jawaban Atha. Lagi-lagi mereka berjalan beriringan di sepanjang Jalan Braga
yang tetap ramai itu. Baik Atha maupun Lukas memang bukan tipe orang yang
banyak bicara, selalu seperti itu, mereka akan kebingungan mencari-cari kata
yang akan memulai percakapan mereka. Kecanggungan masih begitu kental
menyelimuti keduanya.
“Bagaimana hubunganmu dengan Mikhail,
Tha?” Dan jika memulai kembali percakapan keduanya selalu memberikan
pertanyaan-pertanyaan yang tak terduga. Mikhail merupakan teman se-kampus Lukas
dan orang yang dulu pernah dekat dan berkali-kali mendekati Atha walaupun tak
pernah mendapat respon berarti dari Atha. Mendengar nama Mikhail disebut Atha
sebenarnya sedikit malas menanggapi dia pun tersenyum kecut sebelum akhirnya
menjawab.
“Ada tiba-tiba bertanya tentang Mikhail?
Hubunganku dengan dia biasa-biasa saja, bahkan dia menghapus kontakku dari
aplikasi chatnya tapi di aplikasi chat yang lain aku masih berteman dengannya
dan beberapa hari yang lalu dia sempat mengirimiku pesan.”
“Oiya? Apa katanya?”
“Dia hanya bertanya apa yang harus
dilakukan jika menghadapi pacarnya yang katanya cuek banget, lalu aku suruh dia
membaca buku berjudul Back To You karya Dara Prayoga, lalu dia bilang terima
kasih. Yaudah gitu doang.”
“Dia sepertinya belum menyerah terhadapmu
Tha.”
“Waktu aku tahu dia udah punya pacar aku
seneng berarti dia udah nyerah dan gak akan ganggu aku lagi, Kas.”
“Kamu merasa terganggu?”
“Tentu saja, setiap dia mengirimi aku
pesan-pesan singkat seperti tersirat harapan dia untuk bersamaku, padahal aku
sudah melakukan berbagai penolakan bahkan terakhir dia chat sebelum dia punya
pacar dia sempat mengajakku jalan padahal dia tahu sendiri kalo aku sudah punya
pacar. Kamu pikir aku tak merasa terganggu?”
“Hmmhh.. sudahlah jangan membicarakan
keburukan orang lain Tha.”
“Kamu yang mancing-mancing aku, Kas!”
Sepanjang Jalan Braga-Asia Afrika tersedia
kursi yang dapat digunakan pengunjung untuk duduk santai sambil menikmati
suasana di sekitar jalan tersebut dan Lukas pun mengajak Atha untuk duduk di salah
satu kursi yang tersedia di sana.
“Lho gak pulang?” Tanya Atha heran.
“Kita nikmati malam dulu di sini Tha, kita
juga belum bercerita banyak.”
Tanpa ragu Atha pun mengikuti Lukas untuk
duduk di sampingnya. Sesekali orang-orang berlalu-lalang melewati meraka, di
sebrang jalan pun ada beberapa orang yang sibuk berfoto ria. Lukas dan Atha tak
merasa terganggu mereka tetap sibuk bercerita satu sama lain dan mulai larut
dalam dekap malam di Jalan Braga.
“Ini salah satu spot favoritku Tha, di
sini kalo malem kaya gini cocok buat nulis. Kamu inget kan dulu aku pernah
bilang mau ngajak kamu ke tempat yang cocok buat nulis, ya tempat ini.”
“Iya tempatnya kayanya menginspirasi
banget ya, Kas. Eh iya, sejak kapan sih kamu suka nulis dan berpuitis?”
“Sejak aku hidup di jalanan dan bertemu
banyak orang.” Lukas mulai tenggelam dalam ceritanya, tentang pengalamannya selama
hampir tiga tahun nomaden di kota orang ini. Atha pun menjadi pendengar yang
baik untuk setiap kata yang terucap dari mulut pria di sampingnya itu. Dari
semua cerita yang terucap dari mulut Lukas tentang pengalamannya, Atha sedikit mengambil
kesimpulan bahwa Lukas yang dia kenal dulu memang sudah menghilang, berganti
menjadi Lukas yang lebih dewasa dan tak banyak bicara seperti dulu. Lukas yang
tampak lebih bijaksana dan mulai bersahabat dengan kehidupan. Mungkin benar
katanya tadi di motor. Aku bukan bad-boy
lagi kok, Tha. Lalu getaran yang tadi sempat mengembul ke permukaan kembali
muncul, Atha bersusah-payah menahannya.
“Oiya Tha, kamu gak benci sama aku?”
“Dulu sih iya. Ini bukan kali pertama kita
bertemu setelah kita putus kan? Kita pernah mengalami hal semacam ini lalu kita
kembali dekat tapi kamu kembali berkhianat. Dan aku selalu saja ingat tentang
alasan kenapa kita harus berpisah.” Atha menarik napasnya panjang sebelum
akhirnya mulai bicara kembali.
“Tapi waktu memang antibiotik yang paling
hebat ya. Aku yang dulu sudah melupakanmu, bahkan membencimu, tapi kini aku
sudah biasa saja terhadapmu. Lukaku sudah terhapus oleh waktu, Kas. Lagipula
setelah tiga tahun kita tak bersua aku sudah melalui banyak hal tanpa banyak mengingatmu,
dari mulai jatuh cinta sampai patah hati.”
“Tapi kamu selalu menolak bertemu
denganku, padahal aku bukan mau ngajak balikan.” Tawa Lukas kembali pecah.
“Gak usah ketawa deh Kas aku bukan geer atau apapun itu, dulu aku punya
kesibukan lagipula aku punya pacar mana mungkin aku mau menemuimu.”
“Memang apa salahnya kalau kita bertemu
saat kamu punya pacar? Sudah ku bilang aku bukan mau ngajak balikan, Tha. Ini
hanya sejenis reuni.”
“Tetap saja, hubunganku dan kamu adalah
mantan kekasih, rasanya ada yang janggal jika disaat aku punya pacar lalu
diam-diam bertemu dengan mantan. Walaupun sebenarnya aku tahu pacarku tak akan
peduli, hanya saja aku yang terlalu menjaga
perasaannnya mati-matian, yang akhirnya malah aku yang terkhianati.”
Oh,
rupanya hati gadis ini baru saja dipatahkan dan diam-diam berusaha mencari
pelarian atas lukanya. Batin Lukas.
Lukas segera bangkit dari duduknya, Atha
sedikit terperanjat melihat Lukas yang tiba-tiba saja berdiri saat dia masih
sibuk berceloteh.
“Hampir pagi, sebaiknya kita pulang Tha.”
Lukas mulai melangkah gontai meninggalkan Atha seorang diri yang tampak masih
kebingungan dengan tingkah Lukas yang tiba-tiba menjadi kaku, padahal baru saja
dia kembali nyaman berbicara dengan Lukas setelah sebelumnya dipenuhi rasa
canggung. Tapi tak ada pilihan lain, Atha berjalan cepat untuk menyamakan langkahnya dengan Lukas. Sebelum sampai ke tempat di mana Lukas memarkirkan
motornya dia berbicara tampak sedikit serius pada Atha.
“Baiklah, saat ini aku akan membantumu berdiri
sampai kamu mampu berjalan sendiri dan melupakan lukamu. Jika nanti kamu sudah
mampu melakukannya semua keputusan
terserah padamu. Jika ingin denganku tetaplah berjalan beriringan, tapi jika
tidak kamu boleh pergi dariku.”
Atha tampak bingung mencoba meresapi
setiap detail kata yang baru saja Lukas lontarkan terhadapnya.
***
Keduanya kini telah duduk di atas motor
yang sedikit-sedikit mulai meninggalkan keramaian di Jalan Braga yang seolah
tak mengenal waktu, yang tanpa mereka sadari jalan tersebut kini mungkin akan
mulai kembali mengukir cerita baru diantara keduanya.
Awalnya, baik Lukas maupun Atha berpikir
bahwa malam itu hanyalah sebuah reuni biasa, pertemuan antara dua insan yang
telah lama terpisah walau sama-sama tinggal di satu kota. Awalnya mereka
sama-sama berpikir setelah berakhirnya pertemuan malam itu, maka tak akan ada
pertemuan-pertemuan lainnya. Namun dugaan keduanya meleset parah, nyatanya
selalu ada sapaan pagi yang menyapa salah satunya bergantian, nyatanya selalu
ada pertemuan selanjutnya, nyatanya mereka kerap kali menikmati fajar hingga
senja bersama-sama di kota Bandung yang kini mulai memberi cerita bagi
keduanya. Cerita yang dimulai dari malam itu, di Jalan Braga.
***
Tak perlu tergesa-gesa.
Aku bukanlah pelarian, aku adalah sebuah perjalanan. –Lukas-
Ceritanya bagus, antara cinta dan benci perbedaannya jadi terlihat tipis banget :D
BalasHapusMakasih kak :D
HapusTunggu cerpen cerpen selanjutnya ya!! hehe
Mantaap, suka banget cara kamu menyampai sebuah cerita, plot cerita menarik buat di ikutin, lanjutkan!
BalasHapus