Aku
terlalu jatuh cinta dengan hujan, wangi yang dia tebarkan setelahnya membuatku
merasakan kesejukan yang menepiskan segala rasa cemasku, terkadang pelangi
penuh warna itu pun muncul setelah hujan membasahi tempat dimana aku berpijak, polesan
warna di langit itu sangat memabukkan penglihatanku. Indah. Sejuknya pun mulai menyeruak membahasi
perasaanku hingga damai terasa. Apalagi hujan bisa membuat aku berlama-lama
denganmu. Ah, sungguh ini yang paling aku suka. Tak banyak waktu kita bisa
bersama, namun ketika hujan bersamamu semua rasa rindu yang menjadi-jadi bisa
terbayarkan. Hujan memang paling pandai untuk menahanmu selalu ada di dekatku.
Aku suka hujan, terlebih lagi menyukai dirimu.
Aku
tiba-tiba tersentak. Suara petir itu membuyarkan lamunanku, mengembalikanku ke
alam nyata. Oh! Memori otakku kembali mengajakku berjalan-jalan mengelilingi
masa lalu, semua yang telah berlalu kini teringat lagi, kini terkenang lagi.
Tentang aku yang menyukai hujan dan dirimu, tentang aku yang bahagia menikmati
hujan bersamamu. Aku mulai sadar itu hanya masa lalu yang harusnya tak pernah
ku ungkit lagi tapi hati ini selalu saja memaksa otakku untuk kembali lagi
mengingatnya. Hujan terlalu mengingatkan aku pada dirimu, karena itu kini tak
ada lagi aku yang menyukai hujan, tak ada lagi aku yang menyukaimu. Jelasnya,
aku benci hujan, terlebih lagi membenci dirimu.
***
*Flashback On
Sore
itu hujan turun dan aku kembali bertemu denganmu, betapa senangnya. Seperti
biasa aku memoles diriku sebelum berjumpa denganmu. Tentu saja sebagai
perempuan normal aku ingin terlihat cantik saat bertatapan denganmu. Kugunakan dress hijau selutut favoritku dan flat shoes dengan warna senada, ku
biarkan rambut sebahuku terurai, kuberikan pita kecil dirambutku dengan warna
sedikit keemasan. “Mencolok tapi cantik” bisikku depan cermin lalu kemudian aku
tersenyum geli.
Hujan
hampir reda, hanya menyisakan rintik-rintik kecil yang membasahi dedaunan di
depan rumahku. Baiklah aku terobos saja hujan ini, lagipula kita akan bertemu di
taman dekat rumahku, tak perlu payung. Aku melihatmu sekilas disalah satu
gazebo taman, aku berlari kecil menghampirimu dan kau tersenyum padaku. Ah
senyumanmu itu selalu saja membuat darah-darah yang mengalir di tubuhku
berdansa tiba-tiba. Tak sabar, ku hampiri dirimu, ku peluk dirimu, tapi ada
satu hal yang mengganjal hatiku. Kau tak membalas pelukanku? Kau melapaskan
pelukannku? Ku tatap dua bola matanya dengan tatapan penuh tanda tanya. Tak
rindukah kau kepadaku? Tiba-tiba semua
pertanyaan yang bersarang di otakku terpecahkan dengan satu jawaban dari
mulutnya “Cukup sampai disini,” katanya.
Apa?
Apanya yang sampai di sini? Sebelum sempat ku tanyakan pertanyaan itu, kau
sudah berlalu menerobos hujan yang tiba-tiba deras kembali. Kau pergi, meninggalkanku
begitu saja. Dan aku diam bersama hujan dengan beribu-ribu pertanyaan lagi.
*Flashback Off
***
Hujan
sore itu seolah menjadi saksi bisu dimana kau meninggalkanku dengan beribu
tanya. Hujan yang datang bersama petir yang menyeramkan sore itu seolah
mendengar jeritanku yang sulit menerima kenyataan bahwa aku telah ditinggalkan
begitu saja. Dan bahkan hujan sore itu tak dapat lagi menahanmu untuk
berlama-lama denganku. Rasanya tak ingin lagi aku tersenyum setelah kau tinggal
pergi begitu saja, biarlah aku di sini sendiri tanpa hadirmu lagi. Bagiku, tak
ada yang lebih sakit dibandingkan ditinggal tanpa alasan seperti ini.
Tapi
ternyata bukan perkara mudah bagiku melupakanmu, jika hujan turun maka memori
tentangmu seperti berputar lagi dalam otakku. Aku benci hujan, aku benci
wanginya, aku benci pelangi yang datang setelahnya. Aku benci kamu!
Dan
kini setelah bertahun-tahun berlalu, setelah lama kita tak bersua tiba-tiba
satu pesan singkat menggetarkan handphoneku.
“Apa kabar?” tanyamu. Darahku terasa mengalir lebih deras daripada biasanya,
jantungku berdegup-degup bagikan mengikuti alunan music disco tapi rasanya
berbeda dengan waktu itu, waktu aku masih menyukai hujan. Sungguh aku tidak
berminat membalas pesanmu, menghilang dengan hujan selama bertahun-tahun
lamanya tanpa ada kabar sedikitpun lalu tanpa ada persiapan apapun dariku kau
tiba-tiba kembali datang dan bertanya tentang kabarku. Kau pikir aku baik-baik
saja?
Kau
sama saja dengan hujan selalu datang dan pergi tiba-tiba. Kau pergi saat hujan
dan kau pun datang saat hujan. Kamu dan hujan terlalu berkaitan.
Handphoneku
kembali bergetar, tapi kali ini lebih lama. Aku tersentak saat kulihat nama
yang tertera dilayar handphoneku. Kau
meneleponku, tak ingin aku mengangkatnya namun ternyata rasa penasaranku lebih
besar. Dan ternyata aku sedikit merindukan suaramu. “Munafik” bisikku pada
diriku sendiri.
Dengan
malas aku angkat telepon darimu. “Halo?” katamu, hemm suaramu masih sama
seperti dulu. Aku tak banyak bicara saat itu, hanya ‘oh’ ‘iya’ ‘tidak’ yang
selalu aku lontarkan. Kuharap kau cukup mengerti bahwa aku sudah tak berminat
dengamu dan kau segera mengakhiri teleponnya. Tiga puluh menit berlalu tapi
bagiku rasanya seperti lebih dari sekedar tiga puluh menit, lama. Ku akhiri
percakapanku bersamamu saat itu dengan satu kata “tidak” tanpa penjelasan
seperti saat kau meninggalkanku.
Aku
tak percaya setelah sekian lama menghilang, kau tiba-tiba datang dan bilang
rindu padaku lalu mengajakku kembali padamu. Hahahahaha biarkan aku tertawa
dulu. Apa kau pikir mudah bagiku membangun lagi kepercayaan bersamamu? Maaf,
tapi bagiku tak ada gunanya membangun kembali hubungan yang pernah gagal.
Mungkin aku terkesan egois tapi kegagalan bersamamu cukup membuat aku tak
berdaya, aku tak mau lagi mengulangnya.
Bagiku
kau hanya datang dan membawa luka lama, dan aku tak ingin salah semua seperti
dulu. Biarlah kini hujan menghapus jejakmu.
***
ini kalau diterjemahkan jadi video pendek sepertinya keren :)
BalasHapusTerima kasih ide yg bagus :)
HapusCerpen ini sendiri terinspirasi dari lagunya Taxi Band dengan judul yg sama :)
memang sungguh kampret ketika orang yg sudah lama pergi tiba2 datang dan bilang rindu..
BalasHapusDan yg pasti watados bgt orang orang kaya gitu tuh
Hapus