Langsung ke konten utama

Suatu Hari di Masa Depan



Source
Entah sudah berapa lama aku mengurung diriku sendiri di dalam kamar yang sebenarnya lebih layak disebut gudang atau mungkin tempat kumuh. Lihatlah, tempat tidur yang berantakan, pakain kotor yang menumpuk di balik pintu, serta beberapa foto yang tertempel di dinding kamar yang baru saja kurusak jadi tak beraturan. Aku menatap nanar wajahku pada cermin, semuanya terlihat buruk dan mengecewakan. Hilang sudah semua senyum, mata cerah itu pun entah pergi ke mana, lalu apa kabar semua keceriaan yang dulu selalu menghiasi? Tentu saja tergantikan dengan semua kesedihan yang datang membabi buta. Dalam cermin terlihat jelas bagaimana pantuluan diriku, amat menyedihkan, hancur dan gelap.
Tapi tiba-tiba semua berubah dalam sekejap, aku masih melihat pantulanku dalam cermin tentu saja, hanya, mengapa dia berubah menjadi lebih cerah, ceria dan bahagia? Hebatnya lagi dia—pantulanku—berbicara padaku. Aku mengerjapkan mataku beberapa kali demi memastikan kejadian ganjil ini.

“Hai.” Sapanya, penuh senyum dan bersemangat.

Astaga! Dia benar-benar berbicara padaku.Tubuhku bergetar hebat, dalam hati aku berteriak, “Kejadian gila apalagi ini?!!” Tuhan tolong, kali ini aku benar-benar tak bisa mencerna semua hal ini.

Ah tunggu, apa tadi aku bilang? Tuhan? Aku menyeringai, baiklah, setidaknya aku masih mengingat-Nya sekarang ini.

Badanku perlahan mundur menjauhi cermin, menabrak samping tempat tidur yang seketika membuat aku terduduk lesu di atasnya. Tapi lihat! Lihatlah pantulanku dalam cermin, dia tetap berdiri sama persis seperti sebelumnya, tak bergerak mundur sepertiku apalagi sampai jatuh terduduk di atas tempat tidur dan sama sekali tak terlihat ketakutan sepertiku sekarang.

“Hei tenanglah kawan, aku tak akan membunuhmu.” Katanya lembut.

“Siapa kau?” Tanyaku memberanikan diri.

“Aku adalah kau. Lihatlah, kau terlihat baik-baik saja. Kau bahagia”

Aku menatapnya sinis, “Berhenti bicara omong kosong.”

“Baiklah, boleh aku bercerita sedikit padamu?”

Masih dengan menatapnya sinis, aku menganggukkan kepala.

“Kau baru saja menyelesaikan membaca buku itu, kan?”

Tangannya menunjuk sebuah buku bersampul warna hijau dengan gambar pohon linden di atas meja belajarku yang memang baru saja kuselesaikan membacanya malam kemarin. Belum sempat aku menjawab pertanyaannya, dia sudah kembali berbicara, sepertinya dia sendiri paham bahwa pertanyaannya hanyalah basa-basi.

“Di dalam buku itu, halaman 196 tertulis, ‘Bahwa hidup harus menerima... penerimaan yang indah. Bahwa hidup harus mengerti... pengertian yang benar.Bahwa hidup harus memahami... pemahaman yang tulus. Tak peduli lewat apa penerimaan, pengertian, dan pemahaman itu datang. Tak masalah meski lewat kejadian yang sedih dan menyakitkan.’ Dan seperti itu pula hidupmu, kawan. Kau hanya perlu menerima, mengerti dan memahami, bukan dengan menyiksa, mengutuk dan menyalahkan diri sendiri.”




 
Source




“Sebenarnya apa yang kau bicarakan? Aku benar-benar tak mengerti, semua ini tak bisa dimengerti. Melihat pantulanku sendiri di dalam cermin berbicara, ah sungguh, aku hampir gila. Dan lebih gilanya lagi aku bercakap-cakap dengan pantulanku sendiri!”

“....dengar, siapapun kau di dalam sana, kau tak tahu siapa aku, tak tahu apa masalahku, tak tahu apa yang aku rasakan. Aku hampir gila dengan semua keadaan yang terjadi di sekitarku, dan kau, jangan membuatku semakin gila. Pergi, pergi kau! Enyah dari hadapanku!!”

Aku meneriakinya, amat kencang, sayangnya dia masih tak berkutik dan tetap tenang.

“Apa? Aku tak tahu masalahmu? Kau salah, kawan. Aku tahu semuanya. Bisa jadi aku lebih banyak tahu daripada dirimu sendiri. Aku tahu, tahu semua penyesalanmu. Penyesalan yang membawamu pada lubang kehancuran seperti sekarang.”

Aku merinding mendengar jawabannya. Dia tahu semuanya?

“Untuk apa kau menyesal? Apakah penyesalanmu itu mengembalikan semuanya? Membuatnya menjadi lebih baik? Sepertinya kau sendiri paham bahwa sesalmu hanya membuatmu semakin terpuruk.”

“Lantas siapa kau? Dan apa maumu? Kau mau mengolok-olokku seperti mereka di luar sana?”

“Tidak ada yang mengolok-olokmu, kawan. Bukankah kau ingin hidup tenang? Kau hanya perlu mendengarkan aku sekarang.”




Source

Aku menatapnya lekat-lekat. Oh Tuhan, siapa sebenarnya makhluk dalam cermin itu? Mengapa dia berada dalam pantulanku di cermin? Mengapa dia tahu tentang penyesalan-penyesalanku?

“Apakah kau bisa dipercaya?” Tanyaku ragu.

“Tentu saja, aku bukan orang jahat.” Jawabnya mantap.

“...kawan, sekarang kau hanya perlu duduk tenang di atas tempat tidurmu itu dan dengarkanlah aku. Mulai sekarang biar aku yang berbicara, kau hanya perlu mendengarkan. Percayalah, semuanya akan baik-baik saja.”

Logikaku sungguh ingin berkata tidak. Bagaimana mungkin? Bagaimana mungkin aku mendengarkan sesuatu tak jelas di hadapanku ini, sesuatu yang tak bisa diterima oleh akal sehatku. Ah tidak, lagipula aku mungkin sudah tak punya akal sehat.
Baiklah, pada akhirnya aku kembali mengangguk menuruti perkataannya.

“Apa kau siap?” Tanyanya.

“Ya..”

“Baiklah... siapapun dan bagaimanpun keadaan engkau sekarang kawan. Tak peduli apakah kau seorang yang baru saja dikhianati kemudian hancur, apakah kau seorang yang amat miskin, pengemis jalanan, seorang anak korban keegoisan orang tua, atau kau seorang yang dirundung pilu penyesalan karena kesalahanmu sendiri. Bagaimanapun...bagaimanapun engkau sekarang, percayalah, ini adalah sebuah perjalanan dalam hidupmu. Ini adalah sebuah perjalanan penting yang akan kau lalui, yang akan menjadi bagian penting kisahmu, yang siap membawamu pada suatu perubahan yang lebih baik dan lebih dewasa, ya memang berat, sungguh berat, aku tahu ini amat berdarah-darah bagimu, tapi kau harus belajar percaya kawan, bahwa di depan sana ada sesuatu yang menunggumu. Sesuatu yang indah yang tentu saja tak pernah kau bayangkan sebelumnya. Bila kau merasa kesedihanmu sekarang datang begitu membabi-buta, bukan tidak mungkin kebahagianmu nanti akan datang bertubi-tubi, tak ada yang tahu kawan.”

“....hidupmu tak indah jika datar-datar saja, bukankah jalan menuju rumahmu pun berlubang-lubang, tapi ketika kau sampai rumah tak peduli bagaimanapun keadaannya, kau selalu merasa bahagia bukan? Begitu pula hidupmu ini.”

Aku tertunduk lesu, menelan ludah, tak berani menatap wajahnya. Tak terasa bulir-bulir air mata terjatuh di kedua pipiku yang membuatku refleks menutup wajah dengan kedua tanganku, aku menangis tersedu. Potongan-potongan kenangan dalam hidupku –yang bahagia dan menyedihkan—datang silih berganti. Aku melihatnya, melihat saatku bahagia, kemudian berganti ketika kesedihan datang menghancurkan semuanya dalam sekejap, kemudian kembali berbahagia, lalu kembali sedih. Terus saja, siklus bahagia-sedih-bahagia-sedih ternyata memang kerap datang menghampiriku. Aku semakin menangis, menangisi kebodohanku, menangisi diriku sendiri. Diriku yang selalu merasa tak berguna, diriku yang selalu merasa tak bisa melakukan apapun, yang selalu menyalahkan diriku sendiri, yang selalu menyalahkan Tuhan tak pernah mendengar doaku, yang selalu menuduh orang lain tak mengerti aku.
Aku menangis, tangisan yang berbeda dari sebelumnya, sebelum aku bertemu dengannya.

“Kawan...” Kembali dia berbicara.

“....kau tak perlu merasa terlambat, kau tak perlu merasa jauh tertinggal dari teman-temanmu. Semua orang punya waktunya masing-masing, tentu saja berbeda, tak akan selamanya kau selalu beriringan dengan teman-temanmu yang lain, yang mungkin sudah bahagia lebih dulu. Seharusnya kau bersyukur, Tuhan memberikan ujian yang begitu dahsyat ini padamu, itu artinya Dia mempercayaimu, percaya bahwa kau adalah manusia kuat yang mampu melewati semuanya. Engkau beruntung, kawan. Kau tak perlu merasa iri dengan teman-temanmu yang begitu mudah sukses, mudah meraih mimpinya, mudah mendapat pasangan, dan begitu mudah bahagia. Kau itu manusia pilihan kawan.”

“Kawan..sekarang lihatlah aku, tatap aku.”

Perlahan aku mengangkat wajahku memberanikan diri menatapnya.

“Kemarilah.”

Sedikit demi sedikit aku bangkit dari tempatku duduk, berjalan menghampirinya berdiri tegak di depannya, setegak dirinya, berhadapan.

“Lihatlah aku kawan, aku adalah kau di masa depan. Lihat betapa bahagianya kau, betapa tak ada beban pikiran apapun dalam dirimu ini di masa depan. Kau masih sangat muda, tak ada gunanya kau bermuram durja setiap saat seperti ini. Pahamilah bahwa setiap masalah itu ada jalan keluarnya, tapi jalan keluar itu tak akan pernah kau temukan jika kau hanya terus diam mengurung diri seperti ini. Keluarlah. Lihat bagaimana sekelilingmu, dan tepat saat itu kau akan paham bahwa sesungguhnya kau tak sendirian dan kau akan kembali menemukan harapan. Mulai hari ini aku tegaskan padamu, jadilah dirimu yang baru, yang penuh harapan, yang tak mudah menyerah, selalu berjuang dan tak lupa selalu berdoa. Mulai hari ini jangan lagi ada tangisan, tangisan yang menganggapmu bodoh, tangisan yang menganggapmu tak berguna apa-apa. Tersenyumlah kawanku, tersenyum.”

Tak terasa seulas senyum datang kembali menghiasi wajahku, begitupun dengan pantulanku, aku dan dia bergerak seirama.


Tiba-tiba saja aku melihat pintu kamarku yang terkunci dari dalam terbuka begitu saja, sinar yang amat silau menyeruak  masuk ke dalam seluruh kamarku. Silau sekali, yang membuatku seketika menutup mataku. 
Sejurus kemudian aku merasakan ada tangan hangat nan lembut menyentuh pipiku. Perlahan-lahan mataku terbuka.

“Sayang bangun, sudah siang.”

“Ibu?” Tanyaku saat kesadaranku sudah sepenuhnya kembali.

Aku memandang sekeliling, cermin itu, tempat tidur ini, hiasan-hiasan dinding yang tertempel, pakaian kotor yang menumpuk di balik pintu, jelas ini masih di kamarku. Ibu memandangku bingung seraya bertanya, “Kenapa kau menangis, sayang? Apakah mimpi buruk lagi?” Ibu khawatir.

Aku tersenyum mendengar pertanyaan ibu. Tentu saja dia tahu benar beberapa bulan terakhir ini aku menganggap malam adalah waktu yang paling menakutkan bagiku, aku tak pernah ingin tidur karena mimpi-mimpi buruk selalu ada dalam setiap tidurku.

“Ibu, boleh aku memelukmu?”

Tanpa ada keraguan ibu membentangkan tangannya, menyambutku, hanya butuh waktu satu detik untuk menyadari maksudnya, badanku berhambur menyambutnya, memeluk ibuku erat.

“Ini mimpi yang sempurna, Bu.” Kataku terisak, dalam pelukannya.

Sosokku dalam cermin itu benar. Selama ini aku hanya sibuk mengurung diri, aku tersiksa dengan masalahku tapi aku tak pernah berusaha mencari jalan keluar. Aku menyalahkan Tuhan, aku selalu mengatakan Dia tak pernah mendengar doaku, aku juga selalu merasa sendiri dan menganggap orang lain tak pernah ada dipihakku, bahkan aku sempat beranggapan bahwa ibuku pun tak pernah memihakku. Sekarang aku sadar, lewat ibuku lah Tuhan menjawab doaku. Ibu yang selalu mendoakanku siang dan malam, ibu yang selalu menjaga dan merawatku saatku berada di titik terendah dalam hidup sekalipun, ibu yang selalu rela melakukan apapun untukku. 

Ah, ibu, maafkan anakmu ini. Dan, Tuhan-ku, izinkan aku berterima kasih pada-Mu, aku paham lewat mimpi itulah kau kembali membukakan mataku. 


***


“Bahwa hidup harus menerima... penerimaan yang indah. Bahwa hidup harus mengerti... pengertian yang benar.Bahwa hidup harus memahami... pemahaman yang tulus. Tak peduli lewat apa penerimaan, pengertian, dan pemahaman itu datang. Tak masalah meski lewat kejadian yang sedih dan menyakitkan. –Dede, dalam buku Daun yang Jatuh Tak Pernah Membenci Angin—





Komentar

Postingan populer dari blog ini

Manis Pait Tukang Jarkom

Pernah denger istilah “Jarkom”? Pastilah ya pasti banget. Ini istilah paling fenomenal di kalangan anak SMA khususnya sih Mahasiswa. Gue sendiri pertama denger istilah ini pas jaman-jaman ospek kuliah, banyak benget yang ngomong “kalo ada info apa-apa jarkom ya” awalnya gue bingung sih apaan itu jarkom, tapi setelah gue nyari info ternyata jarkom ini sebenernya kata lain dari istilahnya anak alay “send all” yang lebih kekinian. Gitu. Sadar gak sadar istilah ini seolah menjadi bagian yang penting dalam kehidupan keseharian mahasiswa khususnya. Gue yakin banyak mahasiswa yang hampir tiap harinya keluar istilah ini dari mulut mereka, yaa apalagi mereka para aktivis kampus. Bener gak? Kata orang pinter sih (baca:Google) jarkom itu kependekan dari “jaringan komunikasi” dimana satu orang dalam organisasi harus menyampaikan informasi dengan cara menyebarkannya melalui media elektronik ke semua anggota di organisasi tersebut. Biasanya sih orang humas yang jadi tukang jarkom. Namanya humas k

Naskah Berita, Liputan Objek Wisata Situ Lengkong Panjalu

Sumber gambar: Google Objek wisata Situ Lengkong Panjalu merupakan perpaduan objek wisata alam, budaya dan ziarah yang terdapat di Kabupaten Ciamis, Jawa Barat. Situ Lengkong Panjalu merupakan sebuah danau dengan luas 57,95 hektar dan kedalaman air sekitar 4 sampai 6 meter. Dengan menumpuh jarak 32 km dari Kota Ciamis kita sudah bisa sampai di tempat wisata ini.  Untuk masuk ke tempat wisata ini kita cukup merogoh kocek sebesar Rp. 3000/orang. Di tengah danau Situ Lengkong terdapat pulau yang disebut dengan Nusa Gede yang menjadi tujuan ziarah wisatawan. Nusa Gede pada awalnya merupakan pusat pemerintahan Kerajaan Panjalu dan kini di dalamnya terdapat makam Hariang Kencana yang merupakan anak dari Prabu Sanghyang Borosngora yang merupakan Raja Islam pertama di Kerjaan Panjalu. Masyarakat Panjalu sendiri menyebut Hariang Kencana sebagai Syekh Panjalu. Menurut cerita dari mulut ke mulut masyarakat sekitar bahwa air yang terdapat di danau Situ Panjalu merupakan tetesan ai

[CERPEN] Januari

Januari Oleh: Shela Gumilang Hari itu adalah hari ke empat di bulan Januari saat tanpa sengaja kita dipertemukan kembali di alun-alun kota setelah beberapa bulan tak bersua. Saat itu ku pikir rasaku padamu tak lagi sama seperti dulu, ku kira aku sudah mati rasa padamu, namun nyatanya setelah melihat senyummu itu hari-hariku seperti menjadi rusak dibuatnya. Hanya karena seulas senyum, aku dibuat menggila karenanya. Tapi apa kau tahu bahwa setelahnya juga aku merasa sakit? Sungguh tak ada yang lebih sakit ketika kita harus bertemu kembali namun seolah sebelumnya tak pernah terjadi apa-apa diantara kita. Kau hanya tersenyum kepadaku, lalu aku merasa semakin tak waras karenanya dan kau pergi lagi begitu saja tanpa sepatah kata pun. Aku melihatmu melangkah pergi saat itu, berjalan melewatiku tanpa sedikit pun ingin menatapku lagi sedangkan lidahku kelu tak mampu hanya sekedar untuk memanggil namamu. Hari berganti hari tapi bayangan tentang senyummu pagi itu seolah tak perna