Langsung ke konten utama

[CERPEN] Bukan Pelarian



Bukan Pelarian

Oleh : Shela Novianti Gumilang

Aku pernah sampai pada fase di mana aku bahkan tak rela ketika kubiarkan hatiku jatuh pada pelukan orang lain, selain kamu. Tak peduli seberapa besar luka yang kau torehkan saat itu, kamu selalu tersimpan pada tempat paling istimewa di sudut hati. Berkali-kali aku mencoba memulai cerita baru demi menutup kisah lalu yang menyayat hati, namun semua seperti sia-sia, aku membuang waktu, karena pada akhirnya yang selalu aku ingat adalah kamu. Ku putuskan mulai menutup diri, menutup hati demi menjaga hati yang baru yang berusaha mengetuk pintunya karena saat itu kamu masih betah berada di sana. Aku tak ingin mencari pelarian. 

Tiga tahun lamanya aku hidup dalam bayangan semu tentang kamu, setiap hari aku bahkan menulis tentang kamu, selalu. Mengintip kehidupanmu lewat media sosial seolah menjadi kegiatan rutin yang selalu aku lakukan. Dan kamu selalu menjadi orang yang aku ceritakan kepada siapa pun yang bertanya tentang kisah kasihku, bahkan aku sampai memaksakan diri untuk bisa satu kampus dengan kamu walau akhirnya aku gagal. Aku tak pernah menyangka kalau susah move on sebodoh itu. 

Saat itu, kata menunggu seolah akrab denganku, lebih tepatnya menunggu kamu kembali. Entahlah, aku selalu yakin bahwa pada akhirnya kamu akan tetap kembali lagi padaku. Sampai pada akhirnya, tanpa aku sadari aku mungkin mulai lelah menunggu. Perlahan dengan sendirinya aku mulai bisa melupakanmu, tanpa ada paksaan dan tanpa ada hati yang baru pula. Semua perasaanku padamu berlalu begitu saja dimakan sang waktu. 

Hingga tibalah aku pada detik ini. Detik di mana ketika mendengar nama yang mirip denganmu saja sudah tak lagi mengetarkan. Bahkan bukan kamu lagi orang yang selalu aku ceritakan dan aku pun sudah pernah memulai kisah baru tanpa ada alasan hanya sekedar “untuk melupakannmu” saja walau pada akhirnya kisah itu pun harus gagal lagi. Dan aku sendiri, lagi. 

Memang benar, mengikhlaskan untuk melupakanmu adalah proses terpanjang bagiku. Tiga tahun, lebih mungkin. Tapi itu lebih baik daripada aku harus memaksakan diri apalagi mencari pelarian. Tahun pertama memang terasa begitu berat, ku paksakan melupakanmu, tak pedulikan kamu dan ku paksakan membuka hati pada orang lain. Tapi seperti yang aku bilang, semua hanya sia-sia, aku membuang waktu. Hingga akhirnya aku memilih berhenti memaksakan daripada ada hati yang baru yang harus merasakan luka karena ulahku. Tiga tahun aku menutup diri untuk setiap ketukan pada pintu hati. Sampai akhirnya hatiku bisa kembali netral tanpa ada kamu. Dan aku benar-benar bisa mengikhlaskan segala tentang kamu yang memang sudah berlalu. 

***

Saat ini, aku bertemu dengan seorang pemuda, dia sama sepertiku tiga tahun lalu. Tak bisa melupakan masa lalu. Aku melihatnya seperti melihat cerminan diriku dulu. Terkadang aku ingin tertawa sendiri melihatnya, separah itukah aku dulu?

Saat dia mengenang masa lalunya di depanku, aku hanya bisa tersenyum simpul, ya aku pun pernah merasakannya. Aku tak akan pernah menghakimi dia yang masih saja terbelit kisah masa lalu, sekali lagi aku katakan, aku pun pernah merasakannya. 

Aku sama sekali tidak punya cukup nyali menyusup jauh ke ruang hatinya, yang masih asyik dengan setitik kisah di masa lalu, sekalipun dia mengatakan akulah pintu baru baginya. Ah, tidak, kau tidak perlu terburu-buru hai Tuan, tak perlu memaksakan diri. Biarlah, jika kau masih ingin mengenang masa lalumu, kenanglah. Jika masih ada setitik rasa untuk masa lalumu, simpanlah saja dulu. Biarlah waktu yang menghapus semua. 

Sekali saja, izinkan aku memperingatkanmu wahai Tuan, bahwasannya aku bukanlah sebuah pelarian. 

                                                                               ***

Bandung, 29 November 2015
23.32

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Manis Pait Tukang Jarkom

Pernah denger istilah “Jarkom”? Pastilah ya pasti banget. Ini istilah paling fenomenal di kalangan anak SMA khususnya sih Mahasiswa. Gue sendiri pertama denger istilah ini pas jaman-jaman ospek kuliah, banyak benget yang ngomong “kalo ada info apa-apa jarkom ya” awalnya gue bingung sih apaan itu jarkom, tapi setelah gue nyari info ternyata jarkom ini sebenernya kata lain dari istilahnya anak alay “send all” yang lebih kekinian. Gitu. Sadar gak sadar istilah ini seolah menjadi bagian yang penting dalam kehidupan keseharian mahasiswa khususnya. Gue yakin banyak mahasiswa yang hampir tiap harinya keluar istilah ini dari mulut mereka, yaa apalagi mereka para aktivis kampus. Bener gak? Kata orang pinter sih (baca:Google) jarkom itu kependekan dari “jaringan komunikasi” dimana satu orang dalam organisasi harus menyampaikan informasi dengan cara menyebarkannya melalui media elektronik ke semua anggota di organisasi tersebut. Biasanya sih orang humas yang jadi tukang jarkom. Namanya humas k

Naskah Berita, Liputan Objek Wisata Situ Lengkong Panjalu

Sumber gambar: Google Objek wisata Situ Lengkong Panjalu merupakan perpaduan objek wisata alam, budaya dan ziarah yang terdapat di Kabupaten Ciamis, Jawa Barat. Situ Lengkong Panjalu merupakan sebuah danau dengan luas 57,95 hektar dan kedalaman air sekitar 4 sampai 6 meter. Dengan menumpuh jarak 32 km dari Kota Ciamis kita sudah bisa sampai di tempat wisata ini.  Untuk masuk ke tempat wisata ini kita cukup merogoh kocek sebesar Rp. 3000/orang. Di tengah danau Situ Lengkong terdapat pulau yang disebut dengan Nusa Gede yang menjadi tujuan ziarah wisatawan. Nusa Gede pada awalnya merupakan pusat pemerintahan Kerajaan Panjalu dan kini di dalamnya terdapat makam Hariang Kencana yang merupakan anak dari Prabu Sanghyang Borosngora yang merupakan Raja Islam pertama di Kerjaan Panjalu. Masyarakat Panjalu sendiri menyebut Hariang Kencana sebagai Syekh Panjalu. Menurut cerita dari mulut ke mulut masyarakat sekitar bahwa air yang terdapat di danau Situ Panjalu merupakan tetesan ai

[CERPEN] Januari

Januari Oleh: Shela Gumilang Hari itu adalah hari ke empat di bulan Januari saat tanpa sengaja kita dipertemukan kembali di alun-alun kota setelah beberapa bulan tak bersua. Saat itu ku pikir rasaku padamu tak lagi sama seperti dulu, ku kira aku sudah mati rasa padamu, namun nyatanya setelah melihat senyummu itu hari-hariku seperti menjadi rusak dibuatnya. Hanya karena seulas senyum, aku dibuat menggila karenanya. Tapi apa kau tahu bahwa setelahnya juga aku merasa sakit? Sungguh tak ada yang lebih sakit ketika kita harus bertemu kembali namun seolah sebelumnya tak pernah terjadi apa-apa diantara kita. Kau hanya tersenyum kepadaku, lalu aku merasa semakin tak waras karenanya dan kau pergi lagi begitu saja tanpa sepatah kata pun. Aku melihatmu melangkah pergi saat itu, berjalan melewatiku tanpa sedikit pun ingin menatapku lagi sedangkan lidahku kelu tak mampu hanya sekedar untuk memanggil namamu. Hari berganti hari tapi bayangan tentang senyummu pagi itu seolah tak perna