Langsung ke konten utama

Berhenti Merindu

[CERPEN]



Oleh: Shela Novianti Gumilang

Di sudut kedai kopi sore itu duduk seorang perempuan cantik yang sangat mirip sekali denganmu. Rambut sebahu berwarna hitam terang seperti rambutmu, bermata coklat dan bulat sama sepertimu, dan wajah yang putih bersih seperti rupamu. Mauly biasanya dia dipanggil, dan anggaplah Mauly adalah dirimu sendiri.

Saat itu kamu duduk sendiri sambil sesekali meminum kopi panasmu perlahan, detik berikutnya kamu kembali sibuk memandang jauh ke luar jendela dan menikmati rintikan air hujan yang membahasahi jendela di sebelahmu. Matamu menatap kosong jalanan yang mulai sepi karena hari hampir petang ditambah lagi hujan yang tak mau berhenti juga. Pikiranmu berkelana jauh pada dimensi yang pasti tak akan pernah kembali sekuat apapun kamu berusaha. Dimensi yang biasa disebut dengan nama; masa lalu.

Ah, kamu mulai resah ketika kembali mengingatnya, laki-laki yang beberapa bulan terakhir ini akrab dengan hari-harimu. Laki-laki yang beberapa bulan terakhir ini rajin sekali memberimu kabar, yang pada akhirnya membuatmu merasa jadi orang yang berarti baginya. Fathur, biasa kamu memanggilnya.
***
Semua berawal pada saat kamu baru saja menyelesaikan kegiatan rutinmu pada hari Minggu sore di pusat kota. Seperti biasa kamu pulang melewati taman yang tak jauh dari kompleks rumahmu dan kamu pasti akan menghabiskan waktu di sana untuk sedikit saja menikmati hari Minggu sore di bangku yang tersedia di taman itu. Kebetulan hari itu kamu membawa novel yang berjudul “I do” karya Moemmar Emka, kamu pun segera duduk di bangku taman, lalu mulai membaca dan terbawa hanyut dalam karya seorang penulis favoritmu itu. Beberapa menit berlalu, kamu masih betah membaca ditambah lagi suasana taman yang hening dan nyaman yang membuatmu semakin terhanyut. Sampai pada akhirnya kamu menyadari ada orang lain yang telah duduk di sebelahmu. Kamu pun merasa risih karena tak terbiasa duduk berdekatan dengan seorang laki-laki, tapi kamu berpura-pura tak peduli dengannya. Laki-laki di sebelahmu itu sibuk menghentak-hentakkan kakinya ke atas tanah, kamu meliriknya sekilas. Terlihat dari pinggir hidung mancung, wajah sedikit gelap, rambut sedikit berantakan dan rahang yang terlihat sangat kuat, mulutnya sibuk berkomat-kamit sendiri sampai kamu menyadari satu hal; dia sedang asyik menikmati lagu melalui headset yang ia gunakan.

Kamu pun memutuskan untuk segera pulang karena mulai merasa terganggu dengan hadirnya seorang laki-laki asing itu. Kamu segara bangkit dari dudukmu dan sebelum kamu melangkahkan kakimu, laki-laki asing itu berkata “kamu merasa terganggu?” seketika kamu menoleh ke arahnya dan menatapnya yang sedang memandang lurus ke dapan tanpa menatapmu yang sedang diajaknya bicara. Melihat tingkahnya yang menurutmu tidak sopan itu kamu merasa semakin jengkel dan tak berniat menjawab pertanyaannya, saat kamu hendak melangkahkan kaki untuk pergi laki-laki itu kembali berkata “duduklah dulu, ada yang ingin aku tanyakan padamu.” Kamu pun membalikan badanmu dan menatap wajahnya yang seketika mempertemukan mata kamu dan dia. Matanya sangat hitam dan bulat penuh, sangat kontras dengan matamu yang berwarna kecoklatan, dan saat kamu memerhatikan matanya kamu seperti merasa ada getar berbeda yang tak biasa kamu rasakan. 

“Apa maumu?” tanyamu akhirnya sambil menepis perasaan aneh yang tiba-tiba muncul setelah mata kalian bertemu itu.

“Duduklah,” katanya datar. Entah apa yang membuatmu menjadi menurut padanya, kamu pun segera duduk di sebelahnya.

“Aku ingin bertanya padamu,” kata laki-laki itu tampak serius.

“Menurutmu apa perbedaan itu indah?” tanyanya padamu.

Kamu mengerutkan kening, tak mengerti maksud dari laki-laki asing itu yang tiba-tiba menanyakanmu tentang perbedaan.

“Jawab saja,” katanya lagi.

“Tergantung dari sisi mana kita memandangnya. Bagiku tak semua yang berbeda itu buruk asal kita bisa saling menghargai.”

“Lalu apa perbedaan bisa bersatu?”

“Kau bisa lihat pelangi, bukankah mereka terdiri dari warna-warna yang berbeda? Tapi pada akhirnya mereka tetap bisa bersatu dan menciptakan keindahan yang bisa kita nikmati setelah hujan turun.”

Lelaki di sampingmu itu hanya tersenyum kecut setelah mendengar jawabanmu seraya mengulurkan tangannya padamu.

“Namaku Fathur,” katanya sambil menyunggingkan senyum, dan untuk pertama kalinya kamu melihat senyuman lelaki semenawan itu yang berhasil membuat getar aneh itu kembali kamu rasakan.

“Aku Mauly,” katamu seraya mengulurkan tangan dan membalas senyumnya.

***
Terhitung sejak hari Minggu sore itu, entah karena alasan apa kamu menjadi dekat dengannya, sampai pada akhirnya kamu pun mulai terbiasa dengan getar-getar aneh yang biasa kamu rasakan saat sedang bersama Fathur, apalagi jika secara tak sengaja pandangan kalian bertemu. Biasanya setiap hari Minggu sore kamu akan bertemu dengannya di taman itu, menghabiskan waktu berdua hingga hampir petang dan menikmati senja bersama-sama. Sedikit-sedikit kamu mulai banyak tahu tentangnya, keluarganya, hobinya bahkan hal-hal kecil lainnya yang berhubungan dengan Fathur dan begitupun sebaliknya, walaupun ada satu hal yang sedikit mengganggu pikiranmu, namun kamu hanya pura-pura tak peduli di depan Fathur dan beranggapan semua baik-baik saja.

Sampai tibalah kamu pada saat ini, saat kamu menikmati secangkir kopi pahit yang seolah-olah mengejekmu bahwa kepahitannya mau tak mau harus tetap dinikmati, seperti perasaanmu sekarang. Tepat satu bulan sudah kamu kehilangan Fathur. Dia menghilang tanpa kabar, tanpa jejak, tanpa bahasa dan kamu merindukannya, teramat rindu malah. Kini tak ada lagi Minggu sore yang biasa kamu habiskan dengannya di taman.

Memang tak ada hubungan spesial antara kamu dan Fathur, sehingga ketika dia menghilang begitu saja kamu merasa tak perlu mencarinya, siapalah kamu bagi Fathur. Tapi, jika mengingat tentang bagaimana Fathur memperlakukanmu, bagaimana Fathur sering sekali memberimu kabar, dan bagaimana dia memerhatikanmu yang membuatmu lambat laun merasa memilikinya. Akhirnya kamu memutuskan untuk mengajaknya bertemu di kedai kopi tempatmu berada sekarang, tak peduli pesanmu sampai atau tidak, kamu hanya ingin bertemu dengannya dan berbicara padanya.
Satu jam hampir berlalu, hujan pun telah reda tapi tak kamu lihat tanda kehadiran Fathur di kedai kopi itu, sampai tiba-tiba seorang pelayan datang membawakanmu seikat bunga mawar merah dan sepucuk surat di sana.

“Terima kasih,” katamu seraya menerima bunga mawar itu dan tersenyum pada pelayan di depanmu.

Dengan sedikit gemetar, kamu menyimpan bunga mawar itu di meja dan membuka surat yang terselip pada tangkainya.

“Hai Mauly, apa kabar? Sudah terbiasa tanpaku? Aku tahu kamu pasti sangat kehilangan, bukan? Pun demikian denganku, Mauly. Tapi aku tak bisa berbuat banyak, mungkin ini adalah kesalahanku yang memperlakukanmu teramat baik sehingga tanpa diduga membuatmu akhirnya mencintaiku, bukan? Ha ha ha aku terlalu percaya diri ya?  Tapi jika benar kau mencintaiku, sungguh aku meminta maaf padamu, Mauly.

Kau tahu Mauly kapan pertama kali aku melihatmu? Jika kau bilang pada saat Minggu sore di taman, itu salah. Itu justru adalah kesekian kalinya aku melihatmu. Kau tahu toko buku tempat aku bekerja kan? Nah, di sana lah pertama kali aku melihatmu, keluar dari Gereja yang berada tepat di sebrang toko buku tempatku bekerja.

Sejak saat itu aku jadi sering sekali melihatmu di Gereja setiap hari Minggu, dan diam-diam aku mulai memerhatikanmu dari jauh, bahkan aku mulai sering mengikutimu dan melihatmu menghabiskan waktu di taman. Ah kau pasti tak menyadarinyakan?

Sudah sekian lama aku berusaha mengumpulkan nyali untuk mengajakmu berkenalan. Aku merasa hampir gila memikirkan apa yang harus aku katakan saat akan mengajakmu berkenalan, rasanya tak mungkin tiba-tiba aku menghampirimu dan bertanya siapa namamu, kan?

Sampai tibalah kita pada pertemuan itu, entah datang keberanian dari mana aku tiba-tiba duduk di sampingmu, untung degup kencang jantungku tak sampai ke telingamu kan? Saat itu, aku bingung harus mulai dari mana, sampai tiba-tiba aku bertanya padamu tentang perbedaan. Ya, karena sejak awal aku tahu, kita memang berbeda. Aku yang setiap hari Jum’at melangkahkan kakiku menuju Masjid untuk melaksanakan kewajibanku sebagai lelaki muslim, dan kamu yang setiap hari Minggu melangkahkan kakimu ke Gereja sebagai perempuan Kristiani. Sejak pertama melihatmu aku memang menyukaimu, Mauly. Tapi aku tak banyak berharap, aku suka pendapatmu tentang pelangi, tapi kita bukanlah pelangi. Perbedaan diantara kita ini terlalu rumit, terlalu sukar untuk dipersatukan walaupun kita masih bisa saling menghargai.

Maafkan aku jika ternyata perlakuanku membuatmu menjadi berharap lebih, sungguh aku tak bermaksud. Jangan bersedih, ada laki-laki lain di sana yang lebih cocok bersanding denganmu di atas altar.

Satu pintaku Mauly, cintailah aku dari jauh dengan caramu sendiri tanpa harus menduakan rasa cinta pada Penciptamu. Dan jika kamu ingin melupakanku, itu lebih baik.”

                                                                                                                 Salam, Fathur.
***

Kamu menarik nafas panjang setelah membaca surat itu, dengan tangan gemetar kamu mengambil kopimu yang hampir habis dan meneguknya perlahan. Ada sesak di sudut hatimu, ada gundukan air mata yang seolah memaksa untuk keluar, hujan pun turun deras kembali seolah mengerti isi hatimu yang kini luluh lantah.

Kamu melipat kembali surat itu dan menyelipkannya  pada tangkai bunga mawar merah yang masih terlihat segar itu lalu pergi meninggalkannya. Sejak hari itu kamu pun memilih untuk berhenti merindukan Fathur, berusaha membuang jauh-jauh semua rasa yang telah lama bersemayam dihatimu. Merelakan mungkin adalah yang terbaik, walau hati menjerit ngilu padanya yang begitu saja berlalu. 

***

“Bersama secangkir kafein-ku, izinkan aku titipkan sebuah kisah yang akhirnya harus berakhir bahkan sebelum dimulai. Baiklah, berlarilah kamu, biar kita lupakan semua.” –Mauly-

***
TAMAT




Komentar

  1. berusaha untuk berhenti mengkonsumsi rindu memang sulit.... sangat. ini dari dulu kalau baca flash fiction yang filosofinya agak ke kopi-kopian emang bikin baper..

    BalasHapus

Posting Komentar

Mari berkomentar, mari berkawan! Ketahuilah, komentarmu sangat berarti. Terima kasih :))))

Postingan populer dari blog ini

Manis Pait Tukang Jarkom

Pernah denger istilah “Jarkom”? Pastilah ya pasti banget. Ini istilah paling fenomenal di kalangan anak SMA khususnya sih Mahasiswa. Gue sendiri pertama denger istilah ini pas jaman-jaman ospek kuliah, banyak benget yang ngomong “kalo ada info apa-apa jarkom ya” awalnya gue bingung sih apaan itu jarkom, tapi setelah gue nyari info ternyata jarkom ini sebenernya kata lain dari istilahnya anak alay “send all” yang lebih kekinian. Gitu. Sadar gak sadar istilah ini seolah menjadi bagian yang penting dalam kehidupan keseharian mahasiswa khususnya. Gue yakin banyak mahasiswa yang hampir tiap harinya keluar istilah ini dari mulut mereka, yaa apalagi mereka para aktivis kampus. Bener gak? Kata orang pinter sih (baca:Google) jarkom itu kependekan dari “jaringan komunikasi” dimana satu orang dalam organisasi harus menyampaikan informasi dengan cara menyebarkannya melalui media elektronik ke semua anggota di organisasi tersebut. Biasanya sih orang humas yang jadi tukang jarkom. Namanya humas k

Naskah Berita, Liputan Objek Wisata Situ Lengkong Panjalu

Sumber gambar: Google Objek wisata Situ Lengkong Panjalu merupakan perpaduan objek wisata alam, budaya dan ziarah yang terdapat di Kabupaten Ciamis, Jawa Barat. Situ Lengkong Panjalu merupakan sebuah danau dengan luas 57,95 hektar dan kedalaman air sekitar 4 sampai 6 meter. Dengan menumpuh jarak 32 km dari Kota Ciamis kita sudah bisa sampai di tempat wisata ini.  Untuk masuk ke tempat wisata ini kita cukup merogoh kocek sebesar Rp. 3000/orang. Di tengah danau Situ Lengkong terdapat pulau yang disebut dengan Nusa Gede yang menjadi tujuan ziarah wisatawan. Nusa Gede pada awalnya merupakan pusat pemerintahan Kerajaan Panjalu dan kini di dalamnya terdapat makam Hariang Kencana yang merupakan anak dari Prabu Sanghyang Borosngora yang merupakan Raja Islam pertama di Kerjaan Panjalu. Masyarakat Panjalu sendiri menyebut Hariang Kencana sebagai Syekh Panjalu. Menurut cerita dari mulut ke mulut masyarakat sekitar bahwa air yang terdapat di danau Situ Panjalu merupakan tetesan ai

[CERPEN] Januari

Januari Oleh: Shela Gumilang Hari itu adalah hari ke empat di bulan Januari saat tanpa sengaja kita dipertemukan kembali di alun-alun kota setelah beberapa bulan tak bersua. Saat itu ku pikir rasaku padamu tak lagi sama seperti dulu, ku kira aku sudah mati rasa padamu, namun nyatanya setelah melihat senyummu itu hari-hariku seperti menjadi rusak dibuatnya. Hanya karena seulas senyum, aku dibuat menggila karenanya. Tapi apa kau tahu bahwa setelahnya juga aku merasa sakit? Sungguh tak ada yang lebih sakit ketika kita harus bertemu kembali namun seolah sebelumnya tak pernah terjadi apa-apa diantara kita. Kau hanya tersenyum kepadaku, lalu aku merasa semakin tak waras karenanya dan kau pergi lagi begitu saja tanpa sepatah kata pun. Aku melihatmu melangkah pergi saat itu, berjalan melewatiku tanpa sedikit pun ingin menatapku lagi sedangkan lidahku kelu tak mampu hanya sekedar untuk memanggil namamu. Hari berganti hari tapi bayangan tentang senyummu pagi itu seolah tak perna